CHAPTER 8: SEKUNTUM RASA DI MINGGU KELABU

10 4 7
                                    

Minggu yang kelabu. Itu yang dirasakan Leo saat ini. Konsentrasinya sedikit terganggu, dan memengaruhi gairah kerjanya hari ini. Leo hanya memandangi hamparan tanah proyek tanam sawitnya. Sesekali mengusap wajahnya yang terkadang terasa kaku karena lama terdiam.

"Baru saja membuka hati, udah retak dan berdarah begini."

Tiba-tiba handphone Leo berdering, memecah lamunannya.

"Siapa?" Leo melihat nomor asing sedang menghubunginya.

Leo pun mengangkat telepon asing itu.

"Hallo?" ucap Leo.

"Hai, Bang Leo, apakabar?"

Leo mengernyitkan keningnya, "Ini siapa? suara perempuan?" ucap Leo dalam hati.

"Maaf, ini siapa?" tanya Leo.

"Oh, maaf, Bang. Ini aku, ketemu di kantor desa, Bang?"

"Glory, kah? Tapi nggak mungkin Glory menghubungiku, kan dia sudah bersuami," Leo kembali merajuk. Namun suara dari balik handphonenya menyadarkannya kembali.

"Ini aku, Bang, Ryas, Dokter Ryas," ucapnya lembut.

"Oh, maaf, Saya tidak tahu. Ada apa, Dokter?"

"Aku hanya ingin menanyakan, bagaimana kondisi kulit, Abang, udah nggak gatal lagi?"

Leo mengernyitkan keningnya, sejak kapan Dokter Ryas yang baru pertama kali ditemuinya secara kebetulan begitu peduli pada dirinya yang bukan pasiennya.

"Oh, sudah mendingan, tidak terlalu gatal. Ngomong-ngomong darimana Dokter dapat nomor Saya?" tanya Leo penasaran.

"Maaf ya, Bang. Bukan bermaksud apa-apa, tapi karena aku khawatir jadi aku menanyakan nomor Abang kepada kepala desa, nggak apa, kan, Bang?"

"Ini pasti kerjaannya si Papa," umpat Leo di dalam hati.

"Oh ya, nggak apa. Terima kasih, Dokter, sudah repot-repot sampai ditelpon langsung seperti ini."

"Tidak apa-apa, Bang. Simpan nomor aku ya, Bang. Nanti kalau nanya-nanya tentang keluhan gatalnya atau nanya apapun tentang kesehatan, jangan sungkan hubungi aku ya, Bang."

"Oke, sekali lagi terima kasih ya, dokter."

Leo terdiam, menunggu Dokter Ryas mematikan teleponnya, namun beberapa detik menunggu tidak ada tanda-tanda apapun.

"Maaf, Dokter?"

"Iya, Bang?"

"Hmm, kalau begitu Saya tutup teleponnya ya, Dokter. Ada yang mau saya selesaikan."

"Oh ya, baiklah, Bang."

Leo mematikan sambungan teleponnya dan masih dalam mode terheran-heran.

"Kenapa dengannya? Tiba-tiba sekali. Dia sudah seperti dokter pribadi."

"Ada apa, Bos?" tanya asisten pribadinya.

"Tidak ada apa-apa."

***

Rora masih terbaring di atas kasurnya. Tubuhnya serasa menempel permanen di sana. Sejak malam hingga mentari sudah di atas kepala pun tidak membuatnya beranjak sama sekali. Di pikirannya saat ini adalah cerita Kak Yaya tentang Dokter Ryas yang didekati oleh Leo.

"Benarkah? Sungguh?!" Rora menghempaskan selimutnya.

"Lelaki apaan! Baru segitu aja udah langsung cari yang lain," ucap Rora sambil membalikan badannya ke samping.

"Kan memang itu mau ku, bagus dong, sekali ngomong udah langsung ngerti dan menjauh."

Rora mengambil kembali selimutnya dan menutupi seluruh badannya.

"Arrgh tapi nggak secepat itu juga lah, sama Dokter Ryas pula, sejak kapan?"

Rora asyik berdialog dengan dirinya sendiri. hatinya gelisah, pikirannya berputar di satu pertanyaan, "Benarkah yang dikatakan Kak Yaya tentang Dokter Ryas dan Leo?"

Rora pun beranjak dari tempat tidurnya. Melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah mandi, Rora bersiap-siap masak untuk makan siangnya, karena stok sambal sudah habis malam tadi. Kenapa tidak sarapan? Karena Rora telat bangun. Karena apa? Karena gelisah hingga susah tidur.

***

"Leo, bagaimana, Nak? Papa sudah melihat foto Dokter Ryas. Dia cantik dan sexy, cocok denganmu."

"Papa, baru sampai kok malah bahas yang aneh-aneh?"

"Ini bukan aneh, Leo, ini tentang calon jodoh Kamu," ucap Pak Arkana.

"Gimana kabar, Mama, Pa?"

"Kamu tanya kabar Mamamu? Mamamu merindukan menantu dari anak bungsu kesayangannya."

"Sudah lah, Pa," Leo kembali lesu.

"Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Nggak ada apa-apa, hanya saja Leo sedang patah hati."

"Waduh, anak Papa, pacaran aja nggak, dekat sama cewe aja nggak, tiba-tiba ngomong patah hati, gawat ini."

"Iya, begitulah, Pa, gawat. Anak Papa udah salah memilih hati, baru aja mau mulai, udah selesai karena satu kalimat,"

"Apa sih, Leo? Jangan bikin Papa penasaran terlalu lama. Sejak kapan Kamu ngomong berbelit-belit seperti ini?"

"Sejak mengenal cinta dan patah hati seketika."

Papa Leo tertegun seketika.

"Anakku benar-benar sedang jatuh cinta, apakah betepuk sebelah tangan? Malangnya anak bujangku."

MORNING GLORY [END] Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang