CHAPTER 4: BERMEKARAN NAMUN SULIT TERLIHAT

16 4 2
                                    


Rora berjalan sedikit terburu-buru setelah mengetahui kalau ada pasien yang sedang menunggunya untuk mendapat Pelayanan Konsultasi Penyakit Berbasis Lingkungan di Klinik Sanitasi. Di puskesmas, selain mendapat penanganan medis, pasien juga akan mendapatkan pelayanan konsultasi sesuai rujukan yang diberikan oleh dokter atau perawat di poli, dan Rora sebagai Sanitarian atau Tenaga Kesehatan Lingkungan merupakan tenaga penunjang medis yang memiliki kompetensi sebagai konsultan terkait penyakit-penyakit yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan sanitasi.

"Semoga pasiennya tidak marah," gumam Rora.

"Maaf ya, Pak," ucap Rora dengan sopan hendak berjalan menuju meja konsultasinya.

Leo pun membalikkan badannya, dan melihat sesosok pujaan yang dinantikannya untuk berjumpa.

Rora yang kini duduk di hadapannya, tengah memeriksa rujukan internal poli umum yang sudah ada di atas meja, sedangkan Leo terus menatap Rora. Tidak ada satu kata pun yang terlintas di pikiran Leo saat ini, dia hanya menegang kaku dengan jantung yang berdebar-debar. Namun masih bisa terlihat tenang.

"Tinggal di mana, Pak ..." tanya Rora sambil memeriksa kembali nama Leo agar tidak salah sebut, "Pak Leo?"

Lamunan Leo terpecah, dan berusaha kembali fokus.

"Saya tinggal di rumah kosong milik Pak Kepala Desa," jawab Leo kaku.

"Bapak yang kemarin itu, kan?" Rora langsung ingat dengan wajah pasin yang sedang duduk di depannya itu. Namun Leo hanya tersenyum tanpa jawaban. Rora yang melihat pun sudah dapat mengerti.

"Membaca isi rujukan internal dari poli, ini bisa dikarenakan tempat tinggal yang sudah lama kosong membuat rumah menjadi lembab, sehingga kulit yang sensitif bisa menjadi gatal terkena jamur. Untuk saat ini, gunakan salap yang diresepkan dokter ya, Pak, dan untuk rumah usahakan buka jendela di pagi hari untuk mengurangi kelembaban rumah ya, Pak. Jangan lupa cuci tangan pakai sabun juga, agar gatal-gatalnya tidak menyebar."

Leo dengar namun tidak mendengarkan, yang ada di pikirannya saat ini adalah, konsultasi ini membuat Leo punya alasan untuk menatap mata Rora sedikit lebih lama dari biasanya. Tak puas matanya memandang wajah yang begitu ayu di hadapannya. Suaranya yang lembut dengan penuturan yang sopan, mengenakan pendengar siapapun yang mendengarnya.

"Mata kami bertemu, aku mencuri kesempatan memerhatikan setiap pahatan di wajahnya di saat dia menjelaskan segala yang diperlukan dalam konsultasi. Keseriusannya menambah auranya yang memang sudah begitu kuat menarikku untuk datang mengetuk pintu hatinya. Apakah hatimu bisa kumiliki?"

"Apa ada yang ingin ditanyakan, Pak Leo?" Rora mengernyitkan keningnya, heran melihat tingkah Leo yang kebanyakan diam.

"Aku terpaku terpana akan keindahannya. Rasanya tak ingin semua cepat berakhir. Aku ingin memandangnya lekat seperti ini," batin Leo meminta penuh harap.

"Tidak ada, Dokter," jawab Leo sambil tersenyum, tampan sekali.

Rora tersenyum mendengar jawaban Leo. Leo pun ikutan tersenyum.

"Manisnya," gumam Leo dalam hati.

"Saya bukan Dokter, Pak Leo," Rora melanjutkan ucapannya, "Saya Tenaga Ahli Kesehatan Lingkungan, Sanitarian di puskesmas ini," jelas Rora.

"Hah?" Leo kebingungan.

"Saya petugas kesling di puskesmas ini, Pak Leo," jawab Rora sambil tersenyum. Rora melihat raut wajah kebingungan pada Leo.

"Saya mengerti, masyarakat lebih mengenal dokter, perawat dan bidan, tapi sebenarnya ada banyak profesi kesehatan di puskesmas atau di rumah sakit, Pak. Saya maklum jika Pak Leo tidak tahu."

"Maafkan Saya," Leo tersenyum malu karena kesalahan kecilnya itu.

"Tidak apa-apa, Pak. Hal biasa, kok. Kalau begitu terima kasih ya, Pak. Semoga lekas membaik ya," Rora mengulurkan tangannya dengan maksud berjabat tangan sebagai tanda akhir konsultasi.

Leo tertegun, karena tanpa aba-aba gadis yang menawan hatinya, sedang mengulurkan tangannya. Seketika pikiran Leo kacau, namun masih bisa menggerakan tangannya untuk membalas jabatan tangan itu.

Mata Leo mengunci kepada kedua tangan mereka yang kini menyatu, meski sebentar, namun sukses membuat jantung Leo seakan mau meledak karena senangnya.

"Terima kasih," Leo masih bisa bertahan dengan ketenangan yang diperlihatkannya.

"Sama-sama, Pak Leo."

Leo pun melangkahkan kakinya ragu-ragu ke luar dari ruangan itu. Dia ingin sekali bicara lebih banyak dan lebih lama, tapi tak bisa. Dalam kesadaran penuh Leo mengakui kebodohannya saat ini. Rora tersenyum mengingat kejadian tadi, mulai dari kemarin dia dipanggil dengan sebutan 'Glory' dan sekarang disangka sebagai seorang dokter.

Leo menutup pintu mobilnya, dan mengusap dadanya. Menarik napas dalam lalu tertawa kecil dengan tingkahnya saat ini. Leo pun kembali ke lokasi proyeknya.

"Loh, ini kan resep obat milik Pak Leo." Rora terkejut melihat resep obat yang jatuh di dekat kursi pasien di ruangannya.

***

Rora duduk di ruang program sambil menyiapkan bahan presentasi untuk dibawa besok.

"Bikin apa, Rora?" Kak Yaya mendekat dan membaca tulisan di layar leptop Rora.

"Ini, Kak, untuk jaga-jaga saja, kalau nanti diminta kasih materi penyuluhan."

"Emangnya isi surat undangannya bagaimana? Apa ada diminta memberikan penyuluhan?"

"Nggak tau juga sih, Kak, Rora nggak punya suratnya."

"Lagian perintahnya kemarin hanya untuk menghadiri kegiatan di kantor desa saja 'kan? Ya sudah, Rora, datang, duduk, saksikan sampai selesai, lalu pulang."

"Kamu kenapa sih, Yaya? Biar aja, sebagai persiapan bagi Roranya," timpal Kak Mike.

"Iya juga sih, tapi jangan mau repot sendiri lah, Rora ini diutus berdua, dan seharusnya kerjanya berdua juga."

"Biarin aja ih, Yaya. Sibuk amat urusin yang nggak urusanmu," Kak Mike mulai kesal.

"Iya, iya, aku begini karena aku sayang sama adikku ini," Kak Yaya tersenyum memandang Rora.

Rora tertawa kecil melihat interaksi Kak Yaya dan Kak Mike.

"Tak apa lah, bikin saja, sebagai persiapan. Jika pun tidak ada penyuluhan besok, akan berguna di lain kesempatan."

"Oh ya, Rora, ngomong-ngomong Kamu udah ada obrolan sama Dokter Ryas tentang kegiatan kalian berdua besok?" Kak Yaya mengingatkan Rora perihal Dokter Ryas.

Rora pun kembali teringat sikap Dokter Ryas yang acuh kepadanya tadi pagi.

"Nggak sempat ngobrol," jawab Rora sambil menutup leptopnya. Rora sudah menyelesaikan pekerjaannya hari ini.

"Jadi Kamu perginya gimana? Sendiri? atau bareng dia?"

"Heh, Yaya, ampun dah, kepomu bikin aku gerah. Terserah Roranya lah, mau pergi sendiri, mau berdua," Kak Mike kembali menimpali, "Lagian kalau Dokter Ryasnya mau barengan, pasti Rora sudah dihubungi dong, kalau nggak ada, ya sudah. Roranya juga nggak ambil pusing."

"Nih, nih, makan tuh bakwan dingin," Kak Yaya membungkam mulut Kak Mike dengan bakwan yang tentunya disambut baik dengan lahap oleh Kak Mike.

Rora tertawa melihat kelakuan rekan kerjanya.

"Eh, Rora, itu salap untuk siapa?" tanya Kak Mike.

"Kepo, kepo..." ledek Kak Yaya.

"Apaan sih? Cari gara-gara nih orang," Kak Mike dan Kak Yaya bergelut seperti anak kecil. Namun di samping itu Rora memegang kantong obat yang berisi salap milik Leo. Rora teringat kembali pertemuan yang berlangsung tidak begitu lama itu. Rora pun mengambilkan obat yang diresepkan untuk Leo. Entah apa yang ada di pikirannya, Rora menganggapnya sebagai keinginan untuk membantu.


MORNING GLORY [END] Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang