CHAPTER 23: HARAPAN YANG TUMBUH BERSAMA RINDU

9 3 0
                                    


Leo terlihat mondar mandir di depan meja kerjanya. Gesturnya gelisah tapi wajahnya terlihat bahagia.

"Aku telepon sekarang atau nanti saja? Bagaimana kalau dia sedang sibuk? Atau dia sedang dalam perjalanan pulang ke kosnya."

Leo terus memandang layar handphone yang menampakan nomor telepon Rora.

"Atau aku telepon nanti malam saja?"

Tiba-tiba telepon Leo berdering, membuat dirinya terjerambab kaget. Dengan sigap mengangkat telepon itu dan berpura-pura tenang dan mencoba bersuara pelan. Napasya tertahan dan jantungnya berdegub kencang.

"Hallo?"

Leo tersenyum bahagia, dia ingin menjawab salam itu tapi, seketika dia tersadar, "Cowo? Suara cowo? Siapa?!"

Leo kaget ternyata yang menelponnya bukan Rora, tapi Papanya.

"Hallo!"

"Iya, iya, Pa," jawab Leo lesu.

"Kenapa dengan nadamu itu? ada masalah di kantormu?"

"Bukan di kantorku, tapi di hatiku."

"Nggak ada masalah apa-apa kok, Pa."

"Kalau urusanmu di sana selesai lebih cepat, segera kembali ke sini. Papa lagi nggak enak badan."

"Papa sakit? Apa perlu Leo datangkan dokter pribadi papa?"

"Nggak perlu, segera saja kamu selesaikan urusan di sana, biar urusan di sini juga terkontrol olehmu."

"Iya, Pa. Leo akan segera selesaikan."

***

"Rora, kita duluan ya," Kak Yaya pulang bersama rekan lainnya. Menyisakan Rora yang masih duduk di ruang kerjanya, menyelesaikan laporan bulanannya.

Suasana yang semakin sepi, membuat Rora semakin tenang menyelesaikan pekerjaannya.

"Akhirnya, selesai juga," Rora menyandarkan tubuhnya, sejenak merilekskan matanya yang terpaku cukup lama di depan computer.

Rora meraih handphonenya dan membuka pesan yang tadi tanpa sengaja terkirim ke orang yang telah membuatnya rindu.

"Memang sulit untuk mengakuinya, tapi apa daya, aku rindu."

Seketika momen-momen bersama Leo terlintas kembali. meski tidak banyak tapi terasa berarti di benaknya.

Panggilan masuk membuyarkan lamunan Rora. Saat dilihatnya, ada nama orang yang sedari tadi bertengger di pikirannya.

"Leo?"

Senyuman tipis menghiasi wajahnya yang terlihat lelah. Dengan menarik napas dalam, Rora menngangkat telepon itu.

"Assalamu'alaikum," ucap Rora tenang.

"Waalaikumsalam, Rora," jawab Leo.

Sempat ada jeda setelah jawab salam itu. Rora menanti dengan hati berdebar.

"Terima kasih, Rora,"

"Untuk apa?"

"Untuk izinmu. Setelah sekianlama, akhirnya Kamu menghubungi nomorku. Aku senang sekali, Rora."

Rora tersenyum malu.

"Apa kamu sudah di kos?"

"Belum, tapi sebentar lagi akan pulang."

"Hari-hati ya bawa motornya,"

"Iya, makasi ya," ucap Rora.

"Untuk?"

"Untuk perhatiannya."

"Ini belum seberapa Rora, jika kamu menerima perasaanku, aku akan lebih menjaga dan melindungimu, bukan sekadar perhatian tanya kabar dan mengingatkan saja, Rora."

Seketika Leo memicingkan mata, dia tahu betul ucapannya barusan terkesan seperti sebuah gombalan dan rayuan. Rora terdiam, dia tidak tahu harus jawab bagaimana.

"Rora?"

"Iya?"

"Kamu mau pulang kan? Ya sudah, nanti malam aku telepon lagi ya?"

"Iya," jawab Rora malu-malu.

"Assalamulaiakum, Rora."

"Walaikumsalam, Leo."

Rora tersenyum lalu menyimpan handphonenya. Dia mulai merapikan mejanya. Tiba-tiba pesan masuk berbunyi. Rora yang masih senyum-senyum, segera mengambil handphonenya. Lalu membuka pesan yang ternyata sudah terbuka karena tidak sengaja tersentuh di notifikasinya.

Rora terkejut melihat isi pesan itu, ada tangkapan layar dari percakapan Dokter Dona dan anak-anak UGD yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenal.

Isinya berisi gunjingan tentang Rora yang berusaha merebut kekasih Ryas. Hampir semua percakapan mereka terkesan menyudutkan Rora.

"Astaga! Apa lagi ini?!"


MORNING GLORY [END] Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang