CHAPTER 16: APAKABAR, MU?

8 4 1
                                    


Leo termenung di kursi kemudi eskavator yang sedang tidak beroperasi. Semua pekerja saat ini sedang beristirahat untuk makan siang. Matanya terus memandang layar handphonenya. Sesekali menghela napas dan menyandarkan tubuhnya.

"Kamu di mana, Rora? Aku merindukanmu. Mengapa sampai sekarang tak ada kabar darimu? Mengapa tak ada satu pun pesan darimu? Apa ini jawabanmu, tidak izinkan aku masuk ke dalam hidupmu, bahkan di dunia maya sekalipun?"

"Bos, yang lainnya sudah kembali bekerja. Si Yono mau melanjutkan pekerjaannya juga," kedatangan asistennya membuat Leo sedikit kaget.

"Iya, lanjutkan kerjaannya," Leo kembali menyadarkan tubuhnya.

"Tapi, Bos?"

"Iya, apa lagi?"

"Bisa Bos turun sekarang? Agar si Yono bisa melanjutkan pekerjaannya."

Leo tersadar, dan tertawa kecil menyadari tingkahnya lalu turun dari eskavator itu.

"Dasar, aku."

***

"Permisi, Pa,"

"Eh, Dokter Ryas. Silakan masuk," ajak Pak Arkana.

"Iya, Pa," Dokter Ryas terlihat senang.

"Kamu beneran datang ternyata. Jangan merepotkan diri, Saya baik-baik saja sekarang," ucap Pak Arkana sambil mempersilakan Dokter Ryas duduk.

"Nggak apa, Pa, lagian rumah Papa satu arah juga ke jalan pulangnya Ryas."

"Dokter Ryas mau minum apa? Saya cuma ada kopi dan teh."

"Oh, nggak usah, Pa, biar Ryas saja yang bantu bikinkan. Sekalian Ryas buatkan untuk Papa juga, ya, Bang Leo kapan pulangnya, Pa, biar sekalian dibikinin untuknya," Dokter mendekati Pak Arkana ke dapur dan membantunya menyeduh teh.

Pak Arkana membiarkan Dokter Ryas menyeduh teh lalu duduk di kursi tamu yang tak jauh dari dapur.

"Tak usah, dia nggak suka teh ataupun kopi. Lagian dia lebih sering minum di luar."

Dokter Ryas berjalan kea rah tempat duduk Pak Arkana dan meletakan minuman hasil seduhan tangannya.

"Dokter Ryas ini, malah merepotkan diri."

"Sama sekali tidak, Pa. Panggil 'Ryas' saja, Pa. Agar kita nyaman ngobrolnya."

Pak Arkana hanya tertawa kecil.

"Ryas cek kondisi kulit Papa sekarang ya."

***

Dokter Ryas pun melanjutkan perjalanannya setelah memeriksa Papanya Leo. Belum terlalu jauh dari rumah Leo, Dokter Ryas penasaran dengan kabar Rora yang sudah 2 minggu tidak masuk kerja. Dia pun berbelok masuk ke simpang dan melihat ada mobil yang berhenti tepat di depan kosan Rora.

Rora turun dari mobil travel, dan menunggu sopirnya menurunkan beberapa barang bawaannya. Rora melihat mobil mendekat lalu berhenti di dekatnya.

"Hai, Rora. Apakabar?"

Rora mengernyitkan keningnya, terheran dengan sikap Dokter Ryas yang sangat aneh. Betapa tidak, Dokter Ryas selalu acuh dan mengabaikannya seperti orang tak selevel, dan Rora sudah memaklumi itu, karena kebanyakan dokter yang dia tahu, memang memilih-milih orang untuk dijadikan teman. Lebih tepatnya, ada kasta di dalam profesi di dunia kesehatan.

"Kabar baik," Rora masih mode terheran-heran.

Sopir travel sudah selesai membantunya meletakan barang bawaannya ke depan pintu, dan pergi melanjutkan perjalanan.

Rora tidak tahu harus bagaimana dengan situasi saat ini. dia begitu lelah dan ingin segera istirahat, ditambah lagi hubungan mereka tidak bisa dibilang dekat, karena Dokter Ryas sendiri yang selama ini membatasinya.

"Aku dengar Papamu kecelakaan ya, Rora? Gimana kabarnya sekarang?"

"Papa sudah dibolehkan pulang, dan masih harus control rutin setiap minggu."

"Sudah lama tidak melihatmu, semoga Papamu cepat sembuh ya."

"Makasi ya, Ryas."

Suasana menjadi canggung, karena ucapan dan interaksi yang kaku antara mereka berdua. Rora merasa Dokter Ryas sedikit aneh yang tiba-tiba mengajaknya bicara, bahkan menanyakan kabarnya dan keluarganya. Rora pun takt ahu harus bagaimana. Mereka hanya berdiri di luar dengan gestur Dokter Ryas yang tampak berbeda.

"Hmm, masuk dulu ke kos aku, baiknya berbincang di dalam."

Dokter Ryas memandang ke arah kosan Rora yang terlihat kecil daripada rumahnya, dan pura-pura tersenyum.

"Oh, nggak usah."

"Atau duduk saja di kursi teras di sana, biar enak ngobrolnya."

"Nggak usah, kamu juga baru sampai kan? Kamu istirahat saja, aku cuma singgah sebentar saja, tadi dari rumah papa," Dokter Ryas tersenyum menghentikan ucapannya.

"Papa? Bukannya rumahmu di kecamatan sebelah? Kalian beli rumah di sini?"

Dokter Ryas tersenyum lalu memandangi wajah Rora seperti malu-malu.

"Bukan, bukan papa aku, tapi papanya Bang Leo," Dokter Ryas tersenyum sambil terus memerhatikan Rora.

"Kalian saling kenal?"

"Nggak juga, terlalu cepat ya dekatnya? Ya, begitulah, Papa sangat baik padaku. Tadi juga ngobrol banyak sambil bikin the di rumahnya. Ya udah, kalau gitu aku pulang dulu ya."

Dokter Ryas terlihat bahagia lalu meninggalkan Rora yang masih mematung di depan kosannya.

"Kenapa dengan hatiku?" Rora terlihat sedih.

***

Rora yang sudah selesai membersihkan kamarnya yang sudah ditinggal selama hampir dua minggu. Dia pun sudah selesai membersihkan diri dan mulai membaringkan tubuhnya. Langit di luar sana sudah gelap. Tak ada yang masuk ke dalam perutnya sejak sore dia betemu Dokter Ryas tadi hingga kini malam sudah menunjukan pukul 08.00 malam.

Perut laparnya kalah oleh pikirannya yang melayang-layang, campur aduk. Ada rasa kecewa di hatinya. Ada rasa sedih yang sedari tadi hinggap memenuhi hatinya.

Rora meraih handphonenya. Dia membuka kontak dan mencari nama Leo. Dia terpaku, lalu tersadar dengan apa yang sedang akan dia lakukan.

"Kenapa denganku? Mengapa aku harus menghubunginya? Rasanya sudah tak tepat lagi jika aku mengirimkan pesan kepadanya. Dia sudah bersama Ryas. Mengapa aku harus masuk di tengah-tengah hubungan mereka?"

Rora mengurungkan niatnya lalu meletakan kembali handphonenya di atas meja di samping tempat tidurnya.

"Tak apa, jangan kecewa. Hati manusia memang selalu berubah-ubah. Atau bisa jadi dugaanku selama ini benar, dia hanya sopan kepadaku. Namanya juga laki-laki dewasa kan? Lagian Ryas seorang dokter, siapa juga yang nggak mau sama dokter, apalagi Dokter Ryas cantik, kaya dan sexy."

Rora bicara sendiri seolah sedang menenangkan dirinya yang seperti sedang patah hati. Dia pun kembali meraih ponselnya, lalu mencari nama Leo, dan menghapus nomornya dari penyimpanan kontak handphonenya.

Rora pun tersenyum lega, dan membaringkan tubuhnya. Melupakan laparnya, menutup mata, dengan kerutan di dahinya. Leganya hanya sesaat. Hatinya masih kecewa.


MORNING GLORY [END] Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang