19 Obrolan Ringan

82 4 0
                                    

—4ever

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—4ever.

Daren, Galen, Bastian serta Naja. Keempat remaja itu sudah sampai di ruang ICU tempat Irwan di rawat.

Netra mereka menatap lurus kearah sesosok lelaki paruh baya yang begitu rapuh terbaring di atas brankar. Di mulut nya terpasang ventilator agar konstan bernapas meski dalam keadaan koma. Kondisi nya terlihat begitu memprihatikan dari segi fisik. Bunyi keras elektrokardiograf sangat mendominasi kesunyian di ruangan ini, sehingga siapapun yang berada di sana bisa saja jengah dengan keadaan itu.

Sama hal nya dengan Bastian yang sangat membenci ini. Bahkan jika suara cempreng nya menggema di ruangan ini, suara cempreng alat pendeteksi jantung itu masih tak kalah keras. Tapi setidaknya ia bersyukur, bunyi alat itu masih menunjukkan detak jantung ayahnya normal. Ia ingat sekali kemarin malam ibunya menangis histeris karena jantung ayahnya melemah.

Ia benar-benar ogah mengingat kembali keadaan malam kemarin di ruangan ini. Dimana ibunya—Riska, begitu di perbolehkan masuk, badan kurus itu langsung meluruh kelantai dan tangisan nya pecah dengan begitu memilukan. Bagi Bastian, tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit nya ketika melihat sang ibu menangis terisak begitu lama di depan brankar sang ayah yang diam terpejam dengan tenang, mengabaikan kebisingan di sekitar nya.

Mengingat itu, sungguh membuat kepala nya berisik, seperti kejadian semalam terekam dengan jelas di benak nya tanpa tau bagaimana cara menghapus ingatan memilukan itu.

Daren, anak itu diam-diam merenung di belakang Galen. Ia teringat bagaimana semalam ia dengan cekatan menyetujui Bastian yang memintanya untuk tidak memberitau keberadaan anak itu kepada orang tuanya. Padahal, kalau tau akan berakhir begini, Daren lebih memilih memberitau ibu atau ayah Bastian jika anak mereka di rumahnya, daripada memperdulikan Bastian yang sempat mengancam nya jika memberitau orang tuanya.

Penyesalan selalu muncul di akhir, bukan?

"Yang sabar, ya, Bas. Gue yakin bokap lo bakal cepet bangun dari koma," ujar Naja menenangkan. Tidak mungkin juga pikirnya, kalau Irwan akan koma sampai satu bulan lebih.

"Makasih, gue harap juga begitu .." balas Bastian lirih. Bahkan suara nya hampir tenggelam dalam kesunyian.

Dari keempat remaja itu, tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Mereka hanya diam merenung di depan pintu, bahkan Daren tidak kunjung meletakkan kresek berisikan buah tangan yang ia bawa hasil dari patungan uang nya dengan Galen dan Naja. Bola mata indahnya sesekali melirik kearah Bastian yang berdiri di sampingnya. Sedangkan Galen, anak itu tetap diam sedari awal masuk, matanya fokus memperhatikan bagaimana Irwan diam dalam tidurnya, tanpa terusik akan suara apapun. Berbeda dengan Naja yang justru menunduk sembari sibuk memainkan jari jemarinya tanpa menoleh sedikit pun kearah lain.

Hampir sepuluh menit mereka habiskan untuk terlelap dalam keheningan. Mengabaikan suara-suara dari arah luar yang terdengar jelas akibat pintu yang tidak mereka tutup. Diam-diam tangan Bastian terkepal, sang empu menatap lantai ubin di bawahnya, gigi nya berdesir geram akibat tidak tahan dengan keheningan yang mengganggunya ini. "Mending kita balik ke ruangan Naja aja. Nggak ada guna nya kita diam disini, bahkan, kita jengukin orang koma aja udah nggak berguna. Buang-buang waktu. Ayo, kita balik."

Four(4)Ever | 00L NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang