Bab 1 - Iria Zigril

27 5 0
                                    

Hari itu tidak berbeda dari hari-hari biasanya. Setidaknya sampai pagi. Sang komandan sudah kabur entah ke mana sejak dini hari, sementara Kay sedang membetulkan posisi para penjaga baru yang direkrut di lapangan latihan yang bahkan pasirnya telah membeku.

Dia bertanya-tanya bagaimana para penjaga itu bisa lolos seleksi, sambil memukul lengan mereka dengan tongkat komando yang dipegangnya.

"Bukan begitu, ayunkan dengan kuat― seperti ini," kata Kay.

"Apa kalian meninggalkan sendi kalian di rumah? Kalau kalian mengayunkan pedang seperti itu, bahkan ikan pun tidak akan terpotong! Angkat lengan kalian lebih tinggi."

Kay mengelus lengannya yang merinding karena dingin sambil bergumam. Telinganya memerah di bawah topi dan tangan tanpa sarung tangannya juga ikut memerah karena dingin.

Harusnya mereka memasang pelindung angin atau semacamnya. Kalau begini jadinya lebih seperti latihan ketahanan.

Rambut hitam Kay tertiup angin, menampar pipinya dengan tajam.

Napas putihnya tersebar ke sana kemari di udara.

Dia ingin berkata, 'Lakukan pose ini seratus kali lalu masuk ke dalam tenda' tapi posisi mereka masih berantakan.

Seperti biasa, dia berpikir bahwa kelompok baru ini tampaknya sangat lemah. Saat Kay berjalan di antara mereka, seorang pria datang berlari dari luar arena latihan. Pria itu memberi hormat dengan kikuk dan bertanya,

"Wakil Komandan, apakah Komandan ada di sini?"

Kay mengenali pria itu sebagai seseorang yang pernah dia lihat beberapa kali di kastil. Dengan tatapan yang tidak berubah, Kay memandang pria yang basah oleh keringat di cuaca dingin ini dan berkata dengan dingin,

"Apa menurutmu dia ada di sini?"

Jawaban acuh tak acuh Kay membuat pria itu tampak akan menangis.

"Apa anda tahu di mana beliau sekarang?"

"Tentu saja tidak."

Kay tidak tertarik pada urusan pribadi sang komandan. Kemungkinan besar, dia ada di salah satu bar di sekitar sini, tapi itu bukan informasi yang perlu dia bagikan.

Melihat ekspresi utusan yang semakin putus asa, Kay mengalah dan bertanya.

"Kenapa kau mencari komandan?"

Ketika Kay bertanya, utusan itu akhirnya membuka mulut, wajahnya memerah saat menyeka keringat. Kay melirik ke belakang dan berkata,

"Mengapa kalian berhenti? Kalau kalian beristirahat, keringat akan membeku di cuaca dingin ini. Teruskan latihannya," sambil keluar dari barisan. Sang utusan mengikuti di belakangnya.

"Begini, Yang Mulia Grand Duke telah tiba di kastil. Oleh karena itu, Tuan Kastil mencari Komandan..."

Pernyataan yang tiba-tiba itu membuat Kay mengernyit.

"Grand Duke? Grand Duke siapa? Jangan bilang... Iria?"

Saat mengatakan itu, Kay berpikir itu tidak mungkin. Iria? Jika dia benar-benar datang, pasti sudah ramai sejak tadi.

Tapi, bertentangan dengan dugaan Kay, utusan itu mengangguk dan berkata, "Benar, Yang Mulia Grand Duke Iria itu."

"Dia? Si rubah licik itu?"

Kay terkejut mendengar dirinya mengatakan hal itu dan cepat-cepat memeriksa sekelilingnya. Meskipun menyebut Grand Duke sebagai rubah adalah hal biasa, saat ini situasinya berbeda.

Syukurlah tidak ada yang mendengarnya, dan ketika dia melihat kembali ke utusan itu, utusan itu tersenyum mengetahui semuanya.

"Ya. Iria Reiner C. Zigril. Biasanya dia terkenal malas, tapi dia muncul disini tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Tuan Kastil benar-benar panik."

ALOSHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang