ᰔ Hujan di Kanvas ᰔ

38 23 10
                                    

“Kesunyian bukanlah pelarian. Kadang, hanya dalam diam kita bisa menemukan jawabannya.”

-Ravian Mahardika Aryeswara-

Hujan mengguyur malam itu, menciptakan simfoni lembut yang mengiringi setiap detak waktu di dalam toko kecil Ravian. Di sudut ruang yang dipenuhi oleh aroma kopi hangat, Anindita duduk berhadapan dengannya, sembari menatap jendela yang dipenuhi tetesan air yang perlahan-lahan mengalir turun seperti kenangan yang tertuang dalam lukisan-lukisan di dinding.

Ada keheningan yang nyaman di antara mereka-hening yang tak menuntut kata-kata, namun penuh dengan perasaan yang tersembunyi di bawah permukaan.

“Kau benar-benar berani, Anindita,” suara Ravian terdengar berat, namun penuh dengan kekaguman yang terselip. “Datang sendirian ke kota ini, mengejar mimpi. Kau datang untuk belajar atau bekerja?”

Anindita tersenyum tipis, matanya sedikit merunduk, menyesap kopi perlahan. “Umurku baru 19 tahun. Tapi, aku ingin keduanya, Ravi. Aku bekerja dan juga ingin melanjutkan pendidikan di sini.”

“Baiklah, jika aku ada waktu. Aku akan membantumu mencari pekerjaan. Dan pekerjaan apa yang kamu inginkan?” sesaat Ravian memandang Anindita sambil meminum secangkir teh nya.

Mata gadis itu berbinar, ucapan Ravian membuatnya terharu. “Benarkah, Ravi? Terimakasih untuk itu. Di kota ini aku tidak ada siapapun yang ku kenal. Jadi, aku bersyukur bertemu orang baik sepertimu," ujar Anindita dengan senyuman tulus.

Ravian mengangguk pelan, lalu menatap jam di dinding. "Sudah pukul delapan. Aku harus segera pergi. Besok pagi aku akan kembali."

Anindita mengangguk dalam diam, senyumnya lembut namun penuh dengan rasa syukur. "Terima kasih, Ravi. Untuk semuanya."

Ravian berdiri, mengenakan mantelnya dan menatap Anindita sekali lagi sebelum melangkah keluar. Suara pintu yang menutup lembut menandakan kepergiannya, meninggalkan Anindita dalam kehangatan yang sunyi.

Toko itu kini menjadi tempat peristirahatan sementara, dikelilingi oleh lukisan-lukisan yang berbicara dalam diam, seolah menyimpan rahasia malam itu bersama hujan yang terus mengguyur dunia di luar sana.

Dalam sunyi, hati Anindita mulai memahami bahwa terkadang, kehangatan tak harus diucapkan-cukup terasa, seperti tatapan mata yang memeluk dalam diam.

***

Ravian melangkah masuk ke rumahnya sambil membawa mantelnya yang sedikit basah. Dengan langkah berat, seperti setiap hari ia pulang. Udara dingin dari AC langsung menyambutnya begitu pintu terbuka. Dari dapur, terdengar suara panci dan pisau beradu. Lamat-lamat, suara ibunya yang selalu terdengar sama mengiringi setiap kepulangannya.

“Vian, sudahkah pikiranmu berubah? Kamu mau 'kan belajar bisnis bersama Ayah?”

Ravian berhenti sejenak di ambang pintu ruang tamu, menatap kosong ke arah meja makan yang masih kosong. Tak ada yang berubah. Pertanyaan itu selalu sama, nada suara ibunya juga selalu lembut namun penuh tekanan yang tersembunyi. Vian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang, melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Di belakangnya, suara ibunya terdengar lagi, kali ini sedikit lebih keras.

“Vian, kamu dengar ibu, bicara, 'kan?”

Ravian terdiam sejenak di depan pintu kamarnya, menggigit bibir bawahnya. Pertanyaan itu terus menghantuinya. Ia tahu apa yang diinginkan orang tuanya, tapi itu bukan hidup yang ingin dijalaninya.

“Vian dengar bu. Dan jawabannya masih sama seperti waktu itu.” jawab Ravian pelan.

Namun, setiap kali ia pulang, pertanyaan itu tak pernah berhenti. Ravian menutup pintu kamarnya dengan perlahan, tapi suara derit kecil itu tetap terdengar seperti letupan di telinganya. Ia bersandar di pintu, menatap ke sekeliling kamar yang penuh dengan karya-karyanya.

Kanvas besar dengan coretan warna-warni abstrak, kuas-kuas yang bertebaran di meja, dan jejak cat yang menempel di lantai. Di sini, di ruang ini, ia merasa dirinya utuh. Namun, begitu keluar, ia kembali menjadi seseorang yang diharapkan memenuhi ambisi orang lain.

Ibunya tak pernah mengerti. Baginya, melukis hanyalah hobi tak berharga, sesuatu yang tidak akan pernah menghasilkan uang.

“Uang, uang, selalu tentang uang,” pikirnya dengan getir, mengepalkan tangan sejenak. Setiap kali pulang, ia harus mendengar ucapan yang sama, seolah-olah seluruh keberadaannya hanya dinilai dari seberapa baik ia bisa menjalankan bisnis keluarga.

Ia memandang salah satu lukisannya, yang baru saja selesai—sebuah pemandangan senja dengan perpaduan warna yang meluap-luap. Di sana, ia menemukan kedamaian yang tidak pernah diberikan dunia bisnis. Namun, kedamaian itu seolah terusik setiap kali ibunya memaksanya untuk "berubah pikiran."

“Apa itu rumah? Bagiku, rumah bukan lagi tempat berlindung. Justru membuatku hanya merasa kecil dan tidak berharga. Kenapa ibu tidak bisa menghargai bagaimana impian ku dan masa depan ku? Kenapa aku seperti boneka yang dikendalikan untuk menurutinya?”

Ravian menyalakan lampu kecil di meja lukisnya, menatap kosong pada kanvas kosong di depannya. Seolah bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah ini semua tak cukup? Kenapa baginya seni selalu dianggap remeh?”

Baginya, seni adalah hidup. Tapi di mata ibunya, seni hanyalah kekosongan tanpa nilai.

Ravian duduk di meja kerjanya, meraih pensil dan kertas untuk mulai mencoret-coret sketsa. Pandangannya terfokus pada kanvas kosong di depannya, tetapi pikirannya melayang pada sosok Anindita, wanita penulis yang menginspirasi. Kenangan akan pertemuan mereka di toko lukisnya membuatnya bersemangat untuk melahirkan karya baru.

“Anindita ... dia tidak seperti yang lain,” bisiknya, mata menelusuri garis-garis kasar pada sketsa yang belum selesai.

“Orang-orang biasanya memuji lukisanku karena paras atau sekadar warna-warni yang kutoreh. Tapi dia ... dia melihat lebih dalam.”

Ravian terdiam sejenak, membiarkan ingatan akan percakapannya dengan Anindita kembali mengalir. “Dia mengerti apa yang ingin ku sampaikan. Dia berbicara tentang kemarahan yang terpendam dalam goresan merah itu, tentang bayangan di sudut yang mencerminkan rasa terperangkap ku. Tidak banyak yang mampu membaca sampai ke situ.”

Ia meletakkan kuasnya, pandangannya tertuju pada kanvas dengan tatapan yang seolah tembus ke balik kain putih itu.

“Anindita... dia tidak hanya menatap karya ini dengan mata, tapi dengan hati. Seolah dia bisa mendengar bisikan yang ku ku sisipkan di setiap guratan.”

Ravian tersenyum tipis, getir tapi hangat. “Mungkin ... itulah yang ku butuhkan. Seseorang yang bisa melihat melampaui permukaan, memahami bukan hanya apa yang terlihat, tapi juga apa yang tak terucap.”

Perasaan Ravian sedikit tenang, saat masalah yang selalu ia pendam tercurahkan dalam sketsa nya. Ia memandang jendela nya yang dibukakan sedikit, menampakkan rintikan hujan yang masih terus turun.

Sambil menggambar, ia berpikir tentang tugas kuliah yang baru saja diberikan dosennya. Salah satunya adalah membuat poster untuk acara seni lokal.

“Poster yang penuh warna dan menarik,” gumamnya. Ia berencana memasukkan elemen-elemen desain yang mencolok, menciptakan suasana meriah yang menggugah rasa ingin tahu.

Setelah menyelesaikan sketsanya, Ravian beralih ke tugas berikutnya: membuat serangkaian sketsa tentang "Keindahan Alam." Dia mulai menggambar pemandangan indah yang sering ia lihat saat melukis di luar—gunung yang menjulang, danau yang tenang, dan pepohonan rimbun. Setiap goresan pensil menggambarkan rasa syukur dan cinta terhadap alam.

Sekilas, ia teringat dengan tugas analisis karya seni terkenal yang juga harus dikerjakan. Mungkin setelah menyelesaikan sketsa ini, ia bisa memilih satu lukisan klasik yang menginspirasinya untuk dianalisis.

Saat menggambar, Ravian juga merasa antusias dengan proyek kolaboratif menciptakan mural di kampus. Dia membayangkan bagaimana setiap goresan kuas dapat menceritakan kisah mereka sebagai seniman.

Dengan semangat yang membara, Ravian menaruh pensilnya sejenak. Dia tahu bahwa dalam setiap tugas kuliah dan sketsa yang dibuat, ada bagian dari dirinya yang ingin ia tunjukkan kepada dunia, termasuk kepada Anindita.

“Anindita Laksmira Widyadari. Apakah seniman ini tertarik pada seorang wanita penulis?” gumam Ravian sambil tertawa kecil.

Bagaimana dengan part 2 nya. Happy Reading, jangan lupa vote and komennya yaaa

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang