ᰔ Sendu di balik Hujan ᰔ

20 14 1
                                    

“Meski langkahmu tenggelam dalam sepi dan hujan menelan jejakmu, aku akan terus mencari. Sebab bagiku, keberadaanmu adalah arah—tak peduli seberapa jauh kau mencoba menghilang, aku akan selalu sampai.”

Ravian Mahardika Aryeswara

Di ruang kelas yang penuh suara ketikan laptop dan desahan napas bosan para mahasiswa, Anindita duduk di barisan tengah. Kepalanya tertunduk, dagu bertumpu di tangan, dan matanya menerawang jauh ke luar jendela.

Cuaca mendung di Bandung pagi ini semakin memperburuk suasana hatinya. Pikirannya kembali berputar ke pertemuan dengan Bu Siska semalam—tentang kebenaran yang selama ini ia hindari.

Ayahnya, Dewangga, bukan hanya pergi meninggalkannya. Ia telah memulai hidup baru dengan keluarga lain. Dan Anindita? Ia bahkan tidak pernah menjadi bagian dari pilihan itu.

Kepalanya berdenyut ringan, wajahnya pucat, dan matanya sembab akibat tangis panjang semalam. Sepanjang malam ia bergelut dengan pikiran—mencoba memahami, tapi tak bisa menerima. Hanya mendengar nama Ayahnya saja sudah membuat dadanya sesak. Bagaimana jika suatu hari nanti ia harus bertemu langsung dengan pria itu?

"Anindita!" Suara lantang dosen yang memanggil namanya membuatnya tersentak. Ia buru-buru menegakkan tubuh, berusaha terlihat waspada, meski jelas sudah terlambat.

"Sudah dua kali saya tanya. Kamu memperhatikan tidak?" Dosen itu menatapnya tajam, membuat mata para mahasiswa lain juga tertuju pada Anindita.Anindita hanya bisa menelan ludah, dadanya berdebar kencang.

"Maaf, Pak ..." jawabnya pelan. Ia tahu permintaan maafnya tak banyak membantu, tetapi otaknya terasa kosong.

Dosen menghela napas berat. "Tolong fokus. Saya mau semua mahasiswa terlibat dalam diskusi hari ini." Anindita mengangguk patuh, meski pikirannya masih melayang entah ke mana. Kelas berlanjut, tetapi fokusnya sudah tak lagi ada di sana.

Jantungnya serasa tertarik kembali ke masa lalu, ke bayangan wajah Dewangga, sosok ayah yang kini terasa lebih asing daripada siapa pun. Di sebelahnya, Varisha, sahabat terdekatnya, melirik dengan cemas.

Gadis itu tahu ada yang tidak beres sejak pagi. Anindita biasanya ceria dan selalu aktif di kelas, tapi hari ini dia seperti bayangan dari dirinya yang kemarin.

Saat kelas berakhir, Anindita buru-buru membereskan barang-barangnya dan keluar tanpa sepatah kata. Ia bahkan tak menunggu Varisha seperti biasanya.

"Anin!" panggil Varisha sambil mengejar, tapi Anindita sudah menghilang di antara kerumunan mahasiswa.Varisha menggigit bibir bawahnya, kebingungan. “Ada apa sama dia?” gumamnya. Ia merasa sesuatu yang buruk telah terjadi, tapi Anindita tidak pernah membicarakannya.

Matanya sembab dan pikirannya kalut, seolah setiap langkahnya membawa beban yang semakin berat. 

Varisha menghentikan langkah dan hanya bisa memandangi punggung Anindita yang perlahan menghilang di kerumunan mahasiswa. Sesuatu jelas sedang mengganggu temannya, tapi Anindita memilih bungkam.

"Ada apa dengan Anin? Matanya sembab, pasti dia sedang ada masalah," gumam Varisha.

Tidak tahu harus berbuat apa, Varisha memutuskan mencari orang yang selalu bisa membaca Anindita—Iqbal, kakak tingkat mereka di jurusan Psikologi. Iqbal selalu punya cara menebak perasaan orang hanya dari ekspresi dan bahasa tubuh. Dan yang lebih penting, Iqbal tahu persis bagaimana membuat Anindita merasa lebih baik. 

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang