ᰔ Guratan Harapan ᰔ

28 19 8
                                    

“Penulis melukis dengan kata-kata, sementara pelukis menulis dengan warna—keduanya merajut kisah di dimensi yang berbeda.”

——

Bandung, kota dengan sejuta pesona, membentang di antara pegunungan dengan udara sejuk. Jalan-jalan kota ini dihiasi dengan pohon rindang, taman-taman yang hidup, dan bangunan-bangunan bergaya kolonial yang memancarkan nostalgia masa lalu. Setiap sudut Bandung memiliki cerita, mulai dari hiruk-pikuk Pasar Baru hingga keheningan romantis di Dago Pakar. Saat senja datang, lampu-lampu kota mulai menyala, memberikann nuansa magis, seolah-olah mimpi-mimpi bisa terwujud di tempat ini. 

Namun, di balik keindahan itu, ada seseorang yang merasa hampa—dia, Anindita. Seorang gadis yang mengembara sendirian di tengah riuh rendah kota ini. Bandung yang ramai justru membuat kesepiannya semakin terasa. Setiap langkah yang dia ambil di trotoar beraroma hujan membawa satu harapan kecil: bisa bertemu dengan ayahnya yang telah lama menghilang dari hidupnya.  

Setiap hari dia berjalan tanpa tujuan jelas, berkeliling taman, kafe-kafe kecil, hingga berlama-lama di pinggiran jalan Braga, seolah berharap ada bayangan ayahnya muncul di antara keramaian.

“Mungkin besok aku akan bertemu dengannya,” batinnya, selalu menggantungkan harapan pada hari berikutnya. Di dalam hati, Bandung bukan sekadar kota impian—ia adalah tempat di mana ia percaya ada akhir bahagia menantinya: pertemuan dengan sang Ayah.

Berbekal petunjuk yang ia bawa. Mulai dari foto lusuh Ayah dan Ibunya. Anindita merasakan harapan baru ketika pria tua itu mulai berbicara lebih banyak tentang ayahnya. Gadis itu datang ke sebuah toko, di mana lokasi toko itu tertera disebuah kertas yang diselipkan peninggalan ibunya.

“Dewangga Atmaja, itu nama yang pernah saya dengar," ujarnya dengan suara lembut, seolah mengenang masa lalu. “Dia pernah bekerja di sini beberapa tahun yang lalu. Orang baik, yang selalu siap membantu.”

Kedua mata Anindita berbinar. Seperti ada secercah harapan mendengar nya. “Apa Anda tahu di mana dia sekarang?”

Pria tua itu menggelengkan kepala. “Sayangnya, saya tidak tahu ke mana dia pergi setelah meninggalkan toko ini. Namun, dia sering terlihat bersama sahabatnya, seorang pria bernama Jovan. Mungkin Anda bisa mencari Jovan. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang Dewangga.”

Anindita mencatat nama Jovan dengan penuh semangat. “Terima kasih, Pak. Di mana saya bisa menemukan Jovan?”

“Dia dulu sering menghabiskan waktu di kafe dekat sini, Kafe Susu. Anda mungkin bisa menemukannya di sana. Dia adalah orang yang ramah, biasanya suka berbagi cerita tentang teman-temannya,” jawab pria itu, memberikan petunjuk yang sangat berharga.

Mendengar hal itu, Anindita merasa seperti menemukan petunjuk penting dalam pencariannya. Dia mengangguk dengan penuh rasa syukur. “Saya akan mencarinya, terima kasih banyak atas bantuan Anda.”

Setelah berpamitan, Anindita keluar dari toko dengan semangat baru. Dia tahu bahwa pencariannya untuk menemukan ayahnya tidak akan mudah, tetapi sekarang dia memiliki arah yang jelas. Nama Jovan bergema di pikirannya, memotivasi setiap langkahnya menuju kafe yang disebutkan.

“Mungkin sehabis selesai kuliah aku akan datang ke kafe itu. Ayah ... aku berharap banyak, aku ingin bertemu denganmu,” gumam Anindita, sambil menggenggam erat kertas petunjuk itu.

*** 

Di sudut kantin kampus, Anindita duduk bersama dua orang teman—Varisha dan seorang lelaki bernama Iqbal, seorang mahasiswa semester tiga yang suka membaca karya-karyanya. Iqbal, yang duduk berhadapan dengan Anindita, tampak antusias membahas tulisan terbaru gadis itu. 

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang