ᰔ Rindu tanpa Jawaban ᰔ

19 12 0
                                    

Rindu pada seseorang yang tak pernah ada di sampingku, seperti menanti hujan di tengah kemarau; selalu berharap, tapi tak tahu kapan datangnya.”

Anindita Laksmira Widyadari

Pagi itu, Varisha seperti biasa menyiapkan sarapan untuk kakaknya, Reno. Setelah orang tua mereka berpisah, Reno menjadi tulang punggung keluarga dan berusaha menghidupi mereka berdua dengan bekerja sambilan sambil menyelesaikan kuliah.

Meski hidup tidak mudah, hubungan kakak beradik itu tetap hangat. Varisha, yang tahu betapa berat beban kakaknya, selalu berusaha meringankan tugasnya dengan menyiapkan sarapan dan bekal untuknya setiap hari. 

Varisha segera meraih tasnya dan menghampiri Anindita yang menunggu di ruang tamu. 

“Maaf, menunggu lama Anin. Ayo, kita berangkat,” ucap Varisha sambil tersenyum, menggantungkan tas selempang di bahunya. 

Anindita mengangguk, meski ada ketegangan di wajahnya. “Santai, masih ada waktu juga.” 

Keduanya keluar dari rumah dan menaiki skuter matic milik Reno, yang sehari-hari digunakan Varisha. Angin pagi menyapa ketika mereka meluncur melewati jalan-jalan kecil menuju kantor Atmaja Group—perusahaan besar yang konon milik Dewangga Atmaja, pria yang diyakini Anindita sebagai ayah kandungnya. 

Perjalanan mereka tidak langsung menuju kampus. Mereka memutuskan untuk singgah dulu di gedung perkantoran yang tinggi dan modern, dengan logo Atmaja Group menghiasi fasad depan gedung itu. Harapan dan kecemasan bercampur di hati Anindita, berharap pertemuan ini bisa menjawab pertanyaan yang telah menghantui hidupnya selama ini. 

Setibanya di lobi gedung, Anindita dan Varisha turun dari skuter dan menatap bangunan megah itu dengan sedikit ragu. Namun, tekad Anindita sudah bulat—dia harus menemui pria itu.

Mereka berjalan menuju meja resepsionis, di mana seorang wanita muda dengan seragam formal menyambut mereka. Tapi, senyuman wanita itu terasa tipis, sekadar basa-basi tanpa keramahan. 

“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya singkat. 

“Selamat pagi. Apa kami bisa bertemu dengan Pak Dewangga Atmaja,” ujar Anindita sopan. 

Wanita itu memandang mereka sekilas, lalu mengetikkan sesuatu di komputer di hadapannya. “Apakah Anda sudah membuat janji?” 

“Belum, Bu. Tapi, saya ada perlu dengan Beliau,” sahut Anindita, mencoba meyakinkan. 

“Pak Dewangga sangat sibuk dan jarang datang ke kantor,” jawab resepsionis dengan nada dingin. “Tanpa janji temu, Anda tidak bisa menemuinya.” 

“Bisakah kami meninggalkan pesan atau menghubungi beliau melalui sekretaris?” tambah Varisha, masih mencoba dengan sopan. 

Resepsionis itu mendengus kecil, tatapannya tampak meremehkan. “Maaf, saya tidak bisa membantu. Kalau tidak ada urusan yang jelas, lebih baik kalian pergi.” 

Anindita merasa hatinya mencelos, tapi dia tidak ingin memperlihatkan rasa kecewanya. Ia meraih lengan Varisha, memberi isyarat untuk pergi. 

Saat mereka berbalik dan berjalan menuju pintu keluar, tiba-tiba mereka menabrak seorang wanita. Wanita itu tampak elegan, mengenakan blazer hitam dan heels tinggi, dengan rambut rapi dan wajah penuh wibawa. 

“Oh, maaf,” ucap Anindita gugup. 

Wanita itu menghentikan langkahnya, matanya terfokus pada wajah Anindita. Ia terlihat terkejut, seolah menemukan sesuatu yang tidak diduganya. 

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang