ᰔ Sapuan Warna ᰔ

16 11 0
                                    

Anindita duduk di sebuah kursi di kantin, bersama Varisha dan Iqbal, dua orang yang paling ingin tahu tentang apa yang terjadi saat ia pergi bersama Ravian. Kedua sahabatnya itu menatapnya dengan antusias, tak sabar mendengar cerita yang ia coba sembunyikan. 

“Anin, coba ceritakan kamu kemarin pergi ke mana saja bersama Kak Ary,” tanya Varisha, yang memang suka memanggil Ravian dengan nama pena nya, Ary. Matanya berbinar penasaran.

“Hanya jalan-jalan,” jawab Anindita singkat, sambil memainkan ujung jaketnya. Nada suaranya sedikit kikuk, berusaha menutup-nutupi sesuatu. 

“Tidak mungkin, Lira. Aku yakin, orang seperti Kak Ravian itu bucinable. Alias, terlihat cuek tapi bucin abis,” ujar Iqbal, kakak tingkatnya yang duduk bersandar santai di sebelahnya. Dia mahasiswa psikologi, dan entah kenapa dia selalu percaya diri bisa membaca orang dengan akurat.

Iqbal melirik cincin di jari Anindita dan tersenyum penuh arti. “Ini cincinmu indah banget. Dibeliin Kak Ravian, ya?” tanyanya sambil mengangkat alis.

Anindita menggigit bibirnya, berusaha menahan senyum malu-malu. “I-iya ... Aku mencoba menolaknya karena harganya mahal, tapi dia malah bilang tidak apa-apa.”

Varisha langsung menutup mulut dengan kedua tangannya, menahan kekagetannya yang nyaris berubah jadi jeritan. Iqbal menegakkan duduknya dan menatap Anindita dengan ekspresi tak percaya.

“Astaga, jadi beneran dia segitu green flag-nya?” ucap Iqbal, setengah berbisik dengan nada dramatis. “Dia bukan cuma bucin, tapi royal juga?”

“Dan kamu masih mencoba menolaknya?” Varisha ikut menimpali dengan suara hampir putus asa. “Anin, serius, dia seperti unicorn. Cuek, bucin, dan royal—itu paket lengkap! Kapan lagi kamu bisa mendapat lelaki seperti itu?”

Anindita tertawa kecil, tapi pipinya merona. “Aku tidak tahu, dia ... ya begitu aja. Aku juga sempat heran dengan sifatnya kemarin. Tapi, dia sungguh ingin mengejarku.”

Iqbal dan Varisha saling bertukar pandang, lalu serempak menghela napas. “Ravian udah jelas bucin, tapi dia bucin elegan," komentar Iqbal dengan tatapan kagum.

“Anin, kamu harus jaga dia baik-baik," tambah Varisha dengan senyum penuh arti. “Dia bukan hanya tampan, tapi seorang pelukis juga. Hm ... jika kamu tidak mau, untuk aku saja ya, Anin?”

“Eh, Varisha!” Anindita memukul pelan lengannya sambil tertawa malu-malu, namun senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan lagi.

Keramaian di depan papan pengumuman semakin padat. Anindita, Varisha, dan Iqbal yang melihat kerumunan itu segera ikut melihat. Mereka berdiri di antara para mahasiswa yang bersemangat mencari UKM sesuai minat.

Di depan mereka, berjejer beberapa stand dari berbagai unit kegiatan mahasiswa, mulai dari UKM olahraga, seni, musik, hingga sastra. Open House UKM tengah merekrut anggota baru.

“Lihat itu, UKM Sastra! Mereka punya program bedah buku setiap bulan,” ujar Anindita dengan antusias, meski raut wajahnya mulai menunjukkan kebingungan. 

“Pas untuk kamu,” timpal Varisha dengan semangat. “Bisa menambah relasi juga di dunia literasi.” 

Iqbal melirik keduanya dengan ekspresi datar. “Kalau kamu sibuk kuliah, kerja, dan nulis, yakin mau ambil ini juga, Lira?” 

Anindita mendesah, mengusap wajahnya pelan. “Itu dia masalahnya. Aku ingin sekali  ikut, tapi waktuku benar-benar sempit. Kuliah saja baru mulai, sudah banyak yang harus dikerjakan. Belum lagi, cerita baru ku sekarang sedang berjalan, dan bekerja paruh waktu di galeri seni.” 

Varisha menatapnya prihatin. “Pasti berat ya. Tapi siapa tahu, dengan ikut UKM, kamu bisa dapat inspirasi baru.” 

Anindita mengangguk kecil, meski masih tampak ragu. Ia melirik brosur UKM Sastra di tangannya. “Aku merasa ikut UKM itu penting, untuk menambah pengalaman. Tapi ... takutnya aku tidak bisa membagi waktu.” 

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang