ᰔ Hangat tanpa Kata ᰔ

21 13 8
                                    

Anindita melangkah keluar dari galeri seni dengan perasaan campur aduk. Karya-karyanya yang dipajang mendapatkan apresiasi dari banyak pengunjung, namun hatinya masih kurang membaik.

Saat ia melangkah menuju tempat parkir, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika Ravian memanggilnya.

“Anindita!” teriak Ravian sambil berlari mendekat.Ia menghentikan langkahnya dan menoleh.

“Ada apa, kak Ravi?” Dengan senyuman lembut, Ravian mendekat dan mengeluarkan jas hitam dari dalam mobilnya.

“Kamu terlihat kedinginan. Izinkan aku memakaikan jas ini untukmu,” ucapnya dengan tulus. Anindita memang merasa sedikit kedinginan karena memakai baju setengah lengan, dan dia merasa hangat di dalam hati saat melihat perhatian Ravian.

Dengan lembut, Ravian membentangkan jas tersebut dan mengenakannya pada bahu Anindita. Jas itu terasa nyaman dan pas di tubuhnya.

“Terima kasih, Kak.” ucap Anindita, suaranya lirih namun tulus.Ravian menatapnya dengan lembut, kedua tangannya masih menyentuh ujung jas yang ia kenakan pada gadis itu.

"Anin ... bagaimana kalau kita pulang bersama? Kamu juga belum makan, kan?" tanyanya, seolah-olah memastikan tanpa memaksa.

Anindita tersenyum kecil, meski lelah terlihat jelas di wajahnya. "Belum, Kak. Maka dari itu, aku ingin pulang sekarang."

Ravian mengangguk pelan, kemudian dengan nada bersahabat menawarkan, "Kalau kamu tidak keberatan, maukah kamu makan malam di rumahku? Ibu sudah menyiapkan makanan, dan ... Aku melihatmu sedikit pucat. Kamu tidak punya riwayat asam lambung, kan?"

Anindita menatapnya sejenak, ragu, namun sesuatu dalam suara dan sikap Ravian membuatnya merasa nyaman—seperti sebuah ajakan tanpa tuntutan, hanya sekadar perhatian sederhana.

"iya, aku sedikit pusing. Sepertinya kambuh kembali. Baiklah, kalau begitu aku menerima ajakanmu." Ravian tersenyum kecil, lalu dengan isyarat halus, ia membuka pintu mobilnya untuk Anindita.

"Ayo, sebelum malam makin larut."

***

Mira menatap Anindita dengan pandangan penuh rasa ingin tahu, mencoba memahami mengapa gadis ini begitu menarik di matanya. Di ruang makan yang hangat dengan aroma masakan tradisional dan pencahayaan lembut, Mira tersenyum kecil setiap kali Anindita berbicara. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sulit dijelaskan—seolah kehadiran gadis itu membawa kedamaian.

Setelah makan malam selesai, ketika Ravian sibuk merapikan meja makan, sementara Mira memandang Anindita dengan senyum ramah. Ia menyentuh bahu gadis itu dengan lembut, lalu mengajaknya menuju ruang keluarga. 

"Anindita, mari duduk sebentar. Kita ngobrol," ucap Mira hangat, menepuk sofa empuk yang berwarna krem di sampingnya. 

Ruang keluarga itu terasa hangat dan elegan, dindingnya dihiasi lukisan-lukisan abstrak yang jelas sekali karya Ravian. Meski karya itu indah, Anindita bisa merasakan bahwa Mira tidak sepenuhnya menyukai mereka. Ada sesuatu dalam pandangan ibu Ravian yang menyiratkan harapan berbeda untuk anaknya. 

Setelah Anindita duduk, Mira menatapnya lembut namun penuh rasa ingin tahu. "Tadi Ravian cerita sedikit tentang kamu, katanya hari ini kamu menerima penghargaan di galeri seni?" 

Anindita tersenyum sopan. “Iya, Tante. Tadi siang ada pameran, dan kebetulan karya tulisan saya dipajang juga. Alhamdulillah, saya mendapat apresiasi.” 

Mira mengangguk pelan. “Ravian juga sempat memotretmu, katanya kamu terlihat sangat anggun di sana.” 

Anindita tersenyum kecil, dia sama sekali tidak menyadari kapan Ravian memotret nya.

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang