ᰔ Senja dan Kekecewaan ᰔ

25 16 4
                                    

Senja selalu tahu kapan pergi, seperti aku yang sadar tak pernah pantas berada di sampingmu.”

Anindita Laksmira Widyadari

“Meski tak pernah kau sadari, aku akan selalu ada, seperti senja yang kembali setiap hari, walau tak pernah ditunggu.”

Iqbal Kaivandra

___________________

Senja merambat lembut, mewarnai langit dengan semburat oranye yang memantul di permukaan danau kecil di belakang perpustakaan lama. Tempat itu sunyi, hanya ada suara gemerisik dedaunan dan riak air yang tenang. Ravian duduk di bangku kayu panjang yang sedikit usang, buku sketsanya terbuka di pangkuan, tapi belum ada coretan di sana. Pensil di tangannya hanya berputar-putar di antara jari tanpa arah.

“Gawat nih, kalau begini terus. Karya kamu nggak bakal jadi.” 

Suara akrab itu mengusik ketenangan sore. Laras muncul dengan senyum khasnya, berjalan pelan sambil menenteng dua cup kopi. Dia menyerahkan salah satunya pada Ravian, lalu duduk di sampingnya tanpa diminta.

“Lama tidak ketemu, tapi kamu masih suka menyendiri,” kata Laras, menyesap kopinya. “Gimana, Vi? Kamu merindukan ku tidak?”

Ravian hanya menoleh sebentar, lalu kembali memandangi danau. “Sempat lupa, aku tidak mengira kamu akan muncul kembali.”

Laras tertawa kecil. “Dulu juga kamu begitu. Tidak pernah bilang merindukanku, tapi muka mu selalu masam jika aku tidak ada.” 

Ravian menghela napas pendek, menyandarkan tubuhnya ke belakang. “Jadi, sekarang kenapa tiba-tiba di sini? Kamu hilang kabar, dan tiba-tiba datang dan pindah kuliah.”

Laras memainkan cup kopinya, matanya menatap jauh ke permukaan air. “Aku butuh suasana baru. Tempat lama sepertinya tidak cocok lagi.”

Ravian mendengus pelan, tapi tidak menanyakan lebih lanjut. Ia tahu Laras selalu punya alasan sendiri untuk setiap keputusannya, meski jarang sekali dia mau bicara jujur soal itu. Mereka memang sudah lama berteman, tapi tetap ada jarak yang tidak bisa Ravian jangkau.

“Kamu tahu, Vi,” Laras mulai lagi setelah sejenak hening. “Kadang aku selalu berpikir, aneh ya ... kita dulu hampir setiap hari selalu bersama di SMA, tapi sekarang rasanya asing.”

Ravian hanya mengangguk samar. “Waktu bisa membuat semuanya berubah.”

“Tapi tidak semuanya, kan?” Laras menoleh ke arah Ravian, tersenyum tipis. “Kamu masih Ravian yang sama. Masih suka kabur ke tempat sepi jika sedang buntu atau menghadapi masalah.”

Ravian tak bisa menahan sedikit senyum. “Dan kamu masih Laras yang cerewet.”

Laras tertawa lepas, suaranya memenuhi udara sore yang sejuk. “Iya tentunya! Jika aku tidak ada, kamu bisa kesepian.”

Sejenak, keduanya terdiam lagi, menikmati momen tanpa harus banyak bicara. Hembusan angin membawa kenangan lama kembali ke permukaan—tentang sore-sore yang dulu sering mereka habiskan bersama, tentang tawa-tawa kecil dan percakapan yang kadang tidak penting tapi selalu berarti.

“Vi,” Laras berkata pelan, suaranya sedikit lebih serius kali ini. “Aku senang akhirnya kita bertemu kembali. Aku hanya tidak mau kita jadi menjadi orang asing yang pura-pura lupa pernah akrab.”

Ravian mengangkat alis. “Kita tidak pernah jadi orang asing. Tapi ... Kamu meninggalkanku secara tiba-tiba. Kamu membuat ku terpuruk. Apa kamu tahu bagaimana keadaan ku saat itu?”

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang