ෆ Goresan Makna ෆ

28 20 8
                                    

Saat keluar dari toko buku, angin sore menyapu lembut wajah Anindita dan Varisha. Mereka melangkah pelan, membiarkan suasana tenang setelah pertemuan yang tidak terduga. Anindita masih merasa canggung setelah berbicara dengan Ravian, pelukis yang diam-diam menginspirasinya.

“Visha, kamu membuatku malu. Tidak bisa kah itu menjadi rahasia saja?” Anindita berbisik, mencoba menjaga ketenangan.

“Sayang sekali Kak Ary tidak tahu. Dia terlihat menyukaimu.” Varisha melontarkan kalimat itu dengan senyum usil, membuat Anindita menatapnya tajam.

Anindita mendesah panjang, tangannya menutup buku di pangkuan dengan gerakan pelan. “Sudah, diam. Kamu mau aku jadikan tokoh antagonis dalam cerita baruku ini?”

“Heh, Anin! Jangan... salah sekali aku bermain dengan seorang penulis.” Varisha tertawa lepas, membuat Anindita tak kuasa menahan senyum kecil meski kesal.

Di tengah obrolan mereka, Varisha membuka ponselnya dan membaca notifikasi yang baru masuk. Wajahnya langsung berubah ceria.“Anin ... dosennya batal masuk,” katanya, sambil melirik ke arah Anindita.

Anindita merasa sedikit lega, meski di dalam hatinya ada kegugupan yang sulit hilang. "Oh, bagus deh," jawabnya singkat. Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan pembicaraan, suara langkah lain terdengar di belakang mereka. Anindita menoleh, dan dilihatnya Ravian keluar dari toko buku yang sama, dengan langkah santai mendekati mmereka

“Kamu tidak ada kelas?” tanya lelaki itu. Yang tatapannya hanya tertuju pada Anindita saja.

“T-tidak,” jawab Anindita, suaranya pelan, masih berusaha menenangkan kegugupannya.

Varisha, yang sudah tak sabar ingin mengusik sahabatnya, mendekat dan berbisik pelan pada Anindita, “Aku pergi dulu ya, Anin. Sepertinya Kak Ary bisa jadi inspirasi untuk novemu!”

Sebelum Anindita sempat protes, Varisha sudah pergi, meninggalkan mereka berdua. "Kak Ary, aku nggak bercanda loh!" Varisha melambaikan tangan sebelum menghilang di tikungan.

"Visha ..." gumam Anindita, wajahnya merah padam. Ia tak pernah sebegini canggung berhadapan dengan seseorang. Terlebih lagi, Ravian masih menatapnya dengan mata abu-abu yang menenangkan, namun mengusik perasaannya.

“Menulis tentang aku?” Ravian tersenyum kecil, nadanya terdengar menggoda namun tetap halus.

Anindita mencoba tersenyum, meski perasaan canggung menguasai dirinya. “Mungkin ... Mungkin saja. Tapi aku juga tidak tahu kapan inspirasi itu datang.

Varisha, yang sangat peka terhadap suasana, melirik Anindita lalu mendekat ke arah sahabatnya, berbisik dengan nada menggoda, “Anin, sepertinya aku harus pamit dulu. Karena kuliah dibatalin, aku mau baca novelmu yang belum selesai itu. Semoga kamu bisa dapat inspirasi dari ‘tokoh nyata’-mu langsung!” ucapnya dengan penuh makna, mengedipkan mata ke arah Ravian sebelum pergi.

Anindita segera memerah, tapi Varisha sudah melangkah pergi setelah berpamitan pada mereka berdua.

“Kak Ary, aku nggak bohong soal tadi! Sepertinya Anindita bakal nulis cerita tentang Kakak!” Varisha berteriak dari kejauhan sebelum menghilang di tikungan.

"Visha!" seru Anindita, wajahnya makin panas. Baru kali ini ia merasa gugup setengah mati berhadapan dengan seseorang, apalagi saat Ravian menatapnya dengan sorot mata abu-abu yang intens.

“Menulis tentang aku?” tanya Ravian dengan nada tenang namun penuh ketertarikan, sedikit tersenyum saat melihat Anindita semakin canggung.

Anindita tergagap, mencoba menghindari tatapan itu. "Ah, enggak ... Itu hanya bercanda. Aku belum ada rencana ..."

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang