ᰔ Pelukis Patah Arah ᰔ

25 14 0
                                    

"Hari ini sederhana, tapi terasa penuh. Mungkin bukan tempat atau hadiah, tapi caramu membuatku merasa... itu yang berharga."

-Anindita Laksmira Widyadari-

"Kita tidak butuh tempat yang jauh untuk merasa bahagia. Kadang, kebahagiaan cukup dengan duduk di sebelah orang yang tepat."

-Ravian Mahardika Aryeswara-

***

Di tengah hiruk-pikuk Kampus Islam Bandung, suasana seperti biasa penuh dengan mahasiswa yang sibuk. Namun, ada satu kejadian yang tak luput dari perhatian para mahasiswa: Ravian, sosok dingin dan misterius yang biasanya dikenal menjauh dari orang lain, mendadak **bertindak di luar kebiasaan. 

Ia terlihat berlari-lari kecil di lorong gedung fakultas dengan senyum lebar di wajahnya. Beberapa mahasiswa tertegun, bahkan sampai berhenti di tengah jalan untuk memastikan mereka tidak salah lihat. 

Di ujung tangga, Anindita baru saja selesai kuliah, berjalan beriringan bersama Varisha dan  Iqbal. Saat itulah mereka mendengar suara yang sangat tidak mungkin berasal dari Ravian. 

“Anin! Tunggu, tunggu dulu!” teriak seseorang dengan keras.

Anindita spontan menoleh, memastikan apakah ia tidak salah dengar. Dan benar saja—Ravian berlari menghampiri mereka, dengan ekspresi penuh antusias, jauh dari kesan dingin dan berjarak yang biasanya melekat padanya. 

Varisha yang di sebelah Iqbal, melirik ke arah lelaki itu dan berbisik. “Ini bukan kak Ary yang biasanya, 'kan? Sepertinya aku bermimpi.”

Iqbal nampak menyipitkan mata di balik kacamata nya itu. “Aku curiga dia habis kena hipnotis.”

Anindita hanya bisa melongo ketika Ravian akhirnya berdiri tepat di depannya, terengah-engah tapi dengan wajah penuh kepuasan. Dengan gaya yang kelewat percaya diri, ia meraih tas Anindita tanpa permisi. 

Lelaki itu menatapnya sambil tersenyum cerah, lalu mengambil tas nya. “Tasnya biar aku bawakan, ya. Biar kamu tidak pegal,”

Anindita yang mendengar itu tercengang. Menatap lelaki pelukis di depannya dengan serius. “Kak Ravi ... Kamu serius?”

“Serius. Apa hal yang aku canda kan bersamamu?” tanya Ravian kembali.

Anindita menatap Varisha, berharap sahabatnya bisa memberikan penjelasan, tapi Varisha hanya mengangkat bahu, sama bingungnya. 

Perubahan drastis Ravian tak butuh waktu lama untuk menjadi bahan perbincangan. Beberapa mahasiswa yang melihat pemandangan itu mulai berbisik-bisik di pojok lorong. 

Kamu lihat Ravian tadi? Dia senyum! Dia senyum beneran!

Ini serius? Bukannya dia terkenal kayak patung hidup?

Jangan-jangan dia habis ikut acara motivasi cinta atau apalah.

Di tengah keramaian itu, Aksa, sahabat Ravian, muncul dengan ekspresi penuh kebingungan. Ia bergegas menghampiri mereka, menepuk bahu Ravian dengan ekspresi seakan tidak percaya. 

“Ravi, apa kamu sakit? Sepertinya aku bermimpi melihatmu saat ini. Ini bukan kamu sama sekali!” ucap Aksa tak percaya.

Ravian hanya tertawa, menepuk balik bahu Aksa dengan santai.  “Santai saja, Sa. Aku hanya belajar menjadi orang yang lebih ramah.” 

Aksa menggeleng mendengar itu. “Keramahan mu membuatku pusing, Ravi.”

Namun, Ravian tampak tak peduli. Ia malah mengalihkan perhatiannya ke Iqbal, yang dari tadi berdiri mematung dengan alis terangkat, bingung melihat tingkah Ravian yang tiba-tiba akrab. 

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang