ᰔ Antara Kenangan dan Harapan ᰔ

14 11 1
                                    

“Tak ada yang lebih menyakitkan selain menyadari bahwa aku mungkin hanya jeda, bukan tujuan akhirnya.”

-Anindita Laksmira Widyadari-

***

Anindita merapikan jaket di bahu Ravian, memastikan lelaki itu cukup hangat sebelum mereka keluar. Kendati wajah Ravian masih pucat, tekadnya tampak jelas. Dia bersikeras pergi ke tokonya meskipun kondisinya belum sepenuhnya pulih. 

“Kita naik bus saja. Kamu masih belum kuat kalau harus berjalan jauh,” ucap Anindita seraya menopang tubuh Ravian agar tetap seimbang. 

Ravian mengangguk kecil, sudut bibirnya terangkat dalam senyuman tipis. “Asal kamu tidak meninggalkanku, aku ikut saja.” 

Anindita menahan tawa, meski raut khawatir tidak sepenuhnya hilang dari wajahnya. “Kalau kamu pingsan, jangan salahkan aku kalau benar-benar kabur.” 

Ravian tertawa pelan, tetapi napasnya terdengar berat. Ia menggengg
am lengan Anindita lebih erat, seakan memastikan gadis itu tetap di sisinya. "Begitu sampai di toko, aku mau mandi dan ganti baju. Rasanya tidak nyaman seperti ini." 

“Kalau kamu mandi sekarang, nanti malah bisa tambah sakit,” balas Anindita, memandangnya dengan alis terangkat. 

“Mandi sambil sehat,” jawab Ravian, menyeringai tipis. “Aku ingin kelihatan sedikit lebih baik di depanmu. Kamu tahu, kan? Aku akan melakukan apapun demi bisa berasa di sampingmu.” 

Anindita menggeleng tak berdaya, namun ada senyum kecil di bibirnya. "Baiklah. Asal jangan jatuh sebelum sampai, ya." 

Begitu bus umum yang mereka tunggu tiba di halte, Anindita membantu Ravian naik perlahan. Mereka memilih kursi paling dekat dengan pintu agar Ravian tak perlu berjalan jauh. Sepanjang perjalanan, tubuh Ravian sedikit bersandar di bahu Anindita, tetapi ia tidak keberatan.

"Kak, kenapa kamu memaksa ingin ke toko lukis hari ini?" tanya Anindita, nada suaranya lembut namun menyiratkan kekhawatiran. 

Ravian menoleh dan tersenyum samar, meski matanya tampak lelah. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Sesuatu yang penting." 

Anindita terdiam sejenak, mencoba membaca maksud di balik kata-kata Ravian. "Apa itu?" tanyanya, meski ia tahu Ravian mungkin tidak akan memberitahunya. 

“Rahasia,” bisik Ravian, suaranya semakin rendah. “Nanti kamu akan tahu sendiri.” 

Bus melaju tenang menuju toko lukis Ravian, tempat yang lebih dari sekadar bisnis bagi dirinya. Anindita hanya bisa berharap perjalanan ini tidak memperburuk kondisi Ravian. Namun, ada perasaan tak terjelaskan di hatinya—bahwa apa pun yang menanti mereka di toko nanti akan menjadi sesuatu yang berarti. 

Sambil menggenggam lengan Ravian lebih erat, Anindita memastikan lelaki itu tahu bahwa dia tidak akan pergi ke mana pun.

***

Setelah menempuh perjalanan dengan bus, mereka tiba di toko lukis milik Ravian. Anindita membantu Ravian turun dan memastikan lelaki itu tidak kehilangan keseimbangan. Langkah mereka pelan menuju pintu masuk, diiringi suara bel kecil yang berdenting saat pintu dibuka. Aroma cat minyak dan kanvas langsung menyergap, membawa suasana akrab dan damai. 

“Kemari,” ujar Ravian sambil menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Anindita mengikutinya ke arah belakang toko.

Anindita sempat kebingungan. Selama ini, dia mengira tidak ada ruangan lain di balik etalase dan rak-rak lukisan. Ia pernah menginap di toko ini sekali sebelumnya, dan sama sekali tidak melihat tanda-tanda adanya studio pribadi. Namun, Ravian menghentikan langkah di depan pintu kayu kecil yang tersembunyi di balik tirai tebal. 

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang