ෆ Melukis dengan Kata ෆ

39 22 3
                                    

“Ketika dirimu berhasil membuat seorang seniman dan penulis jatuh cinta. Maka abadi lah kamu dalam karya nya. Karena, seseorang seperti mereka. Jika tidak ditakdirkan untuk menjadi cinta amorfati. Maka jadilah abadi.”

by Arlzvy_19

——

Happy Reading

Setiap kata yang ia tuliskan tak hanya bercerita, namun menorehkan perasaan yang diam-diam bergulir di hatinya. Di balik layar yang redup, lahir sebuah dunia—dunia di mana kata-kata menjadi warna, dan kalimat menjadi goresan lembut di atas kanvas kehidupan.

Ravian, nama itu kembali menyeruak dalam pikirannya, seperti siluet samar di ujung senja. Lelaki itu, pelukis sunyi dengan jiwa yang terpenjara dalam rahasia, selalu memancarkan aura yang sulit ia pahami. Mata Ravian, yang menatap dunia seperti selembar kanvas kosong, menyimpan ribuan kisah yang tak pernah terucap.

Seiring detik-detik berlalu, layar laptopnya kini dipenuhi dengan paragraf yang tertuang dari hatinya. Setiap kalimat terasa seperti sentuhan kuas pada kanvas, membentuk gambar yang tak kasat mata. Terasa nyata di benaknya. Kanvas Kata—itulah judul yang ia pilih, seolah kisah ini tak lagi sekadar cerita.

Jari-jarinya menari-nari di atas keyboard laptop, mencoba merangkai kata demi kata dalam narasi yang baru ia mulai. Namun, meski fokus pada tulisannya, pikirannya terus melayang, tak bisa lepas dari sosok lelaki pelukis yang telah menghuni hati dan pikirannya—Ravian.

Ravian, sang pelukis dengan aura misterius, menciptakan warna dalam hidupku yang sebelumnya hanya diisi oleh hitam dan putih. Dengan balutan pakaian formal yang selalu dikenakannya, ia hadir bagaikan tokoh dalam lukisan, di mana setiap detail wajahnya seakan diciptakan oleh sentuhan kuas yang cermat. Aku masih ingat bagaimana matanya, yang dalam dan penuh makna, menyiratkan berbagai emosi—kekacauan, kesedihan, dan harapan.

“Di mana dia?” desahnya pelan, merapatkan bibirnya dengan keraguan. Sudah seminggu lamanya ia tidak melihat Ravian di kampus. Sejak hari mereka berbincang di galeri seni, kehadiran lelaki itu seolah menghilang tanpa jejak. Ada rasa khawatir yang menggelayuti hatinya. Apakah dia baik-baik saja?

Tatapannya beralih ke jendela, mengamati cahaya matahari yang menembus celah-celah tirai, menciptakan bayangan yang lembut di lantai. Anindita merasakan rindu yang mendalam, rindu akan senyumnya yang hangat dan cara bicaranya yang lembut. **Ravi, kau di mana?**

Ia melanjutkan mengetik, tetapi kata-kata terasa hampa. Semangatnya menurun. Dia membayangkan Ravian, mengenakan pakaian formal dengan penampilan yang rapi, menatap kanvasnya dengan intens.

“Apakah dia masih sibuk dengan lukisannya?” pikirnya.

Anindita menutup matanya sejenak, mencoba mengusir kerinduan yang menghimpit. “Apa aku terlalu mengganggu jika menyusulnya ke toko?” tanyanya pada diri sendiri, berulang kali. Rasa gengsi itu, mengapa ia begitu sulit untuk hilang?

Setiap kali mengingat senyum Ravian, Anindita merasa seakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu perasaannya, tetapi dia tak ingin menunjukkan kelemahannya. Di balik ketidaktahuannya tentang perasaan Ravian, ada keinginan untuk menjalin koneksi lebih dalam, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan biasa.

Setelah beberapa saat terlarut dalam pikirannya, Anindita kembali membuka laptop dan mulai menulis. Namun, di benaknya, selalu ada harapan kecil untuk bertemu Ravian di suatu tempat, dalam sebuah kesempatan tak terduga.

“Baiklah, Anin. Fokus pada cerita,” ucapnya pada diri sendiri, berusaha mengusir semua bayang-bayang yang mengganggu. Di tengah keinginan untuk menemui Ravian, dia harus menyelesaikan tugas kuliah yang mendesak.

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang