ᰔ Sendiri dalam Sepi ᰔ

17 12 0
                                    

“Ada perih yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan—seperti hujan yang turun tanpa alasan dan hati yang basah tanpa air mata tersisa.”

Anindita Laksmira Widyadari

______________________

Anindita menatap layar ponselnya. Pesan dari Bu Siska muncul, singkat dan jelas. 

“Kita bertemu di sini.”

Di bawahnya ada lokasi yang ditandai: sebuah kafe kecil tak jauh dari kontrakannya di daerah Ciumbuleuit, Bandung. Malam masih muda, tapi udara dingin khas kota kembang sudah menusuk kulit. 

Anindita menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup tak beraturan. Dia berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya. Malam ini, dia memilih pakaian sederhana: sweater abu-abu longgar yang menutupi tubuh kurusnya dan jeans biru tua yang mulai memudar.

Sepasang sneakers putih yang sudah sedikit kotor melengkapi penampilannya. Rambut hitam panjangnya diikat kuncir kuda—praktis, tapi membuat wajah ovalnya terlihat jelas, memperlihatkan keraguan dan kegelisahan di matanya. 

Udara malam menyeruak begitu ia membuka pintu kontrakan. Angin dingin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan sisa-sisa kabut hujan sore tadi. Langit di atasnya berawan, menutup bintang-bintang, membuat suasana semakin muram. Di kanan-kiri jalan, pepohonan rindang dan rumah-rumah bergaya kolonial berdiri sunyi, seolah menyimpan rahasia masing-masing. 

Setiap langkah Anindita menuju kafe terasa berat. Tak ada hiruk-pikuk di malam ini, hanya suara angin yang menggesek daun-daun pohon. Dia tahu betul mengapa jantungnya terus berdebar tak karuan—bukan hanya karena dia akan bertemu Bu Siska, tapi karena wanita itu membawa sesuatu yang lebih besar: cerita tentang ayahnya. 

Ayahnya. 

Sudah lama ia tak mendengar nama itu disebutkan di hadapannya. Sosok yang menjadi bagian dari masa lalu, yang lebih banyak ia lupakan daripada kenang. Tapi kini, kebenaran—atau mungkin rahasia—tentang lelaki itu akan segera diungkapkan oleh Bu Siska. Dan itu membuat hatinya ciut. Bagaimana jika apa yang ia dengar nanti hanya menambah luka? Bagaimana jika cerita itu mengubah segalanya? 

Ketika akhirnya Anindita tiba di depan kafe yang dimaksud, tangannya bergetar saat mendorong pintu kaca. Sebuah lonceng kecil berdenting pelan, mengiringi langkah ragu-ragunya masuk ke dalam. Suasana kafe terasa hangat, remang dengan lampu kuning temaram, berbanding terbalik dengan dinginnya udara di luar. Aroma kopi dan kayu manis samar-samar memenuhi ruangan, tapi tak mampu menenangkan hatinya yang gelisah. 

Di sudut ruangan, Bu Siska sudah menunggu. Wanita itu duduk tegak dengan jaket krem terlipat rapi di kursi sebelahnya. Wajahnya datar, sulit ditebak apakah ia membawa kabar baik atau buruk. Anindita menelan ludah, lalu melangkah maju dengan perasaan campur aduk—takut, cemas, dan sedikit penasaran. 

Dia tahu, malam ini adalah malam yang tak akan terlupakan. 

Anindita terdiam. Dunia seakan berhenti berputar saat Bu Siska melanjutkan penjelasannya dengan pelan, tapi setiap kata terasa tajam seperti pisau.

“Dewangga ... dia tidak benar-benar hilang,” ucap Bu Siska akhirnya, tatapannya tetap terarah pada Anindita. “Dia masih di Bandung, Anindita. Selama ini dia ada di sini—dengan keluarga barunya.”

Anindita menelan ludah, dadanya terasa sesak. Ia menatap Bu Siska tak percaya. Keluarga baru? Kata-kata itu berputar di kepalanya, menghantam setiap sudut hatinya yang rapuh. Selama ini, ia tumbuh tanpa ayah—tanpa kehadiran Dewangga—dan kini tahu bahwa lelaki itu sebenarnya ada, hanya saja memilih untuk hidup dengan orang lain. 

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang