ᰔ Sketsa dalam Kesedihan ᰔ

58 27 14
                                    

“Walau dunia terasa sedih dan asing, ku percayai setiap kata yang kutulis adalah jembatan mengatasi kesendirian yang menghimpit.”

-Anindita Laksmira Widyadari-

“Seorang seniman menuturkan cerita tanpa kata, mengungkapkan yang tak terlihat dan memberi suara pada keheningan melalui karyanya.”

-Ravian Mahardika Aryeswara-

***

Anin sayang,

Ibu tahu kamu masih menunggu ayahmu pulang. Ibu ingin kamu tahu bahwa ada alasan besar mengapa ayahmu tidak bisa kembali. Namun, Ibu memohon, jangan mencarinya. Ibu tidak bisa menjelaskan semuanya, tapi percayalah, mencari ayahmu hanya akan membawamu pada kesedihan. Beberapa kebenaran lebih baik tetap tersembunyi.

Dengan segala cinta,
Ibu.

“Apa maksud Ibu? Alasan besar apa yang membuat Ayah pergi dan tak kembali? Kenapa Ibu tidak pernah membicarakannya ketika masih hidup?” Anindita melipat kembali kertas lusuh itu. Yang dia bawa dari desa. Surat tersebut seakan misteri baginya.

“Maaf, Bu, aku tidak bisa diam saja. Aku harus tahu alasan Ayah pergi.” Anindita memutuskan untuk menyelidiki meski tahu bahwa mungkin kebenaran akan menyakitinya.

Pagi itu, Anindita tampil dengan blus putih dipadukan dengan rok midi berwarna pastel. Serta Sepatu flats berwarna nude membuat penampilannya semakin elegan. Anindita selalu membawa notebook kecil di tangannya, di mana ia mencatat inspirasi dan ide-ide yang muncul. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai alami.

“Mengapa Ravi belum kunjung datang? Bagaimana dengan toko nya ini?” gumam nya. Masih berharap Ravian datang.

Anindita juga mengecek ponselnya. Dia baru melihat sebuah notifikasi dari pemilik kontrakan. Membuatkan mendesah pelan. “Pemilik kontrakan mengapa baru membalas pesan ku pagi ini? Membuatku merepotkan orang saja.” gerutu gadis itu.

Pintu toko Ravian berderit pelan saat terbuka, membawa hembusan udara pagi yang sejuk. Anindita, yang tengah merapikan barang-barangnya, menoleh saat seorang pria tak dikenal melangkah masuk. Wajahnya penuh tanya saat pria itu mendekat, namun ia tetap tenang.

“Kamu Anindita? Benar 'kan?” tanya pria itu dengan suara yang rendah tapi jelas.

Anindita mengangguk, matanya menyelidik wajah asing itu. “Iya. Anda siapa?”

“Aku Aksa, temannya Ravian,” jawab pria itu sambil tersenyum tipis. “Dia tidak bisa datang pagi ini. Ada urusan mendesak yang harus dia selesaikan, jadi dia memintaku untuk datang dan mengunci toko.”

“Oh, begitu. Baiklah,” Anindita tersenyum sedikit lega. “Sampaikan terima kasihku padanya, ya. Aku pamit dulu, permisi.”

Aksa mengangguk, memperhatikan saat Anindita mengambil tasnya dan menuju pintu. Setelah dia pergi, Aksa menghela napas ringan sebelum menutup dan mengunci toko, memastikan semuanya aman seperti yang diminta Ravian.

Gadis itu pergi menuju halte. Barang bawaan nya dari desa tidak cukup banyak, jadi dia bisa membawa nya dengan leluasa.

Anindita duduk di dekat jendela bus, matanya menatap jalanan yang perlahan dilalui kendaraan itu. Pagi Bandung terasa sejuk, kabut tipis masih menyelimuti beberapa bagian kota. Bus yang dinaikinya bergerak perlahan, berbaur dengan kesibukan kota di jam sibuk.

Tangannya memegang erat buku catatan yang selalu ia bawa, penuh dengan coretan-coretan ide dan puisi. Hari ini, ia akan menuju Universitas Islam Bandung, tempat di mana ia tenggelam dalam dunia sastra.

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang