ᰔ Akhir dan Awal ᰔ

21 14 3
                                    

Malam mulai merambat dingin, dan langit di luar semakin gelap saat Ravian merapikan kerah jasnya di depan cermin. Ia mengenakan setelan formal hitam dengan dasi abu-abu yang dipadukan sempurna.

Buket bunga besar di meja sampingnya berisi mawar merah dan putih, simbol dari perasaan tulus yang ingin ia ungkapkan malam ini kepada Anindita. Rencana itu sudah ia susun matang-matang—bertemu dengan Anindita, menyatakan perasaannya, dan menunjukkan bahwa cinta yang ia tawarkan benar-benar tulus. 

Namun, di tengah persiapan itu, notifikasi masuk di ponselnya. Pesan dari Laras muncul, menawarkan diri untuk pergi bersama Ravian ke acara konferensi pers ayahnya.

Kita bisa berangkat bareng, Rava.

Ravian menatap pesan itu dengan ekspresi datar, tidak tergoda sedikit pun. Laras mungkin cinta pertama yang pernah mengisi hatinya, tapi kali ini perasaannya sudah berbeda. Tanpa banyak pikir, ia mengabaikan pesan itu dan langsung mencari kontak Anindita. Ia butuh memastikan bahwa malam ini mereka akan datang bersama. 

Ketika panggilan tersambung, bukannya suara Anindita, ia mendengar Varisha di ujung telepon. 

"Maaf, ini dengan aku, Varisha. Kak, Anindita tidak bisa datang denganmu. Dia akan datang ke acara itu juga … tapi bersama Kak Iqbal. Aku juga akan berangkat dengan mereka." 

Kalimat itu menghantam Ravian seperti badai. Hatinya mencelos, dan otot-ototnya menegang. Ia mengepalkan tangan di atas setir mobil, lalu bertanya cepat, "Apa? Di mana Anindita sekarang?" 

Namun, belum sempat mendapat jawaban, telepon itu terputus begitu saja. Ravian terdiam sejenak, mencoba menata pikirannya yang porak-poranda. Kecewa dan marah bercampur aduk di dadanya. 

"Kenapa harus Iqbal lagi?" Ravian menggeram sambil memukul keras setir mobil, membuat klakson berbunyi nyaring di dalam garasi. Rahangnya mengeras.

"Aku tidak sanggup melihat mereka datang sebagai pasangan!" Ia memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan emosinya.

Bunga di sampingnya seolah menjadi saksi bisu dari rencana yang berantakan. Malam ini, bukannya kebahagiaan yang ia bayangkan, yang ada hanya rasa tidak berdaya. 

Namun, Ravian tahu dirinya tidak bisa menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Iqbal menjadi penghalang, lagi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu memutuskan untuk tetap berangkat ke acara itu.

***

Di sisi lain, Varisha merasakan jantungnya berdebar kencang saat mematikan ponsel. Rasa takut melingkupi dirinya, terutama setelah mendengar percakapan barusan.

Dia melirik Anindita, yang tampak melamun jauh ke luar jendela, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Sejak sore, Anindita tampak tidak fokus, seolah beban di hatinya terlalu berat untuk diungkapkan.

Varisha pun mengalihkan pandangannya ke Iqbal, yang sudah menunggu di ruang tamu rumahnya, terlihat khawatir namun sabar. 

“Kamu coba bujuk dia,” saran Iqbal, dengan nada penuh harap. Varisha mengangguk, bertekad untuk mendekati Anindita. Ia menghampiri gadis itu yang duduk di tepi jendela, menikmati embusan angin dingin. 

“Anin, kamu pakai baju ini ya?” Varisha menunjuk ke sebuah pakaian seksi yang baru saja ia ambil dari lemari. “Sepertinya pakaian ini akan cocok padamu.” 

Anindita melotot melihat pakaian itu. “Apa maksudmu? Astaga! Jika aku memakai pakaian ini di kampung, pasti banyak yang membicarakanku!” 

“Tapi, Anin, ini acara formal. Pakaian seperti ini biasa kok. Kamu bisa tutup dengan ini,” Varisha mengangkat sebuah jaket. 

Kanvas Kata (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang