Diary 16

79 17 3
                                    

"Yang bener Siska?"

Suara yang dipenuhi nada kepanikan itu memecahkan keheningan di pagi hari ini. Jantung Bunda Riana langsung berdegup kencang sampai rasanya dadanya begitu sesak. Bunda Riana tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari Siska, bahkan untuk memastikan bahwa dia mungkin saja hanya salah dengar, Bunda Riana sampai mematikan kompor yang diatasnya berisi sup ayam yang mulai mendidih, agar telinganya lebih jelas dan fokus mendengar ucapan Siska yang mengulang informasi yang ia sampaikan sebelumnya.

Faktanya, apa yang ia lakukan sekarang hanya memperjelas pada Bunda Riana bahwa apa yang Siska katakan memang kenyataan pahit yang terjadi dipagi hari ini. Benar-benar tidak ada sedikitpun nada keraguan dari suara Siska. Lagipula mustahil Siska bercanda untuk hal sebesar ini.

"I-iya Siska. Mbak sama Mas Mada pasti langsung ke sana ya. Kamu tolong bantu tenangin semua yang ada di sana. Mbak tutup" ujar Bunda Riana sebelum mematikan sambungan telepon antara dirinya dengan istri Faqih tersebut. Bunda Riana yang memang sedang ada di dapur berjalan cepat masuk ke kamarnya, meninggalkan area dapur dan seisinya begitu saja.

Bunda Riana bisa melihat Ayah Mada yang masih terlelap dalam tidurnya, mungkin faktor kelelahan setelah sebelumnya Ayah Mada bekerja sampai larut malam. Bunda Riana mendudukkan dirinya di sisi Ayah Mada kemudian dia mengguncang tubuh Ayah Mada tidak sabaran, berusaha membangunkannya. "Yah, bangun Yah"

Ayah Mada mengerutkan keningnya dalam-dalam. Samar-samar dia mendengar suara Bunda Riana yang bergetar seperti menahan tangis. Ayah Mada pun langsung membuka kelopak matanya lalu mengangkat sedikit kepalanya untuk memudahkannya melihat sosok istrinya yang terduduk di sisinya. Raut wajah Bunda Riana terlihat sangat khawatir, bahkan kedua matanya berkaca-kaca.

Merasa khawatir, Ayah Mada pun langsung bangkit dari posisinya sampai dia dalam posisi duduk lalu memegang lengan kanan Bunda Riana penuh perhatian, "Kenapa Bun?"

"Alin Yah, kecelakaan. Kondisinya parah" lirih Bunda Riana.

Ayah Mada membulatkan matanya terkejut bukan main, jantungnya berdetak kencang ketika berita buruk itu seolah menghantam dirinya. "Yang bener Bun? Kok bisa?"

Bunda Riana menggelengkan kepalanya beberapa kali, "Nggak tau Yah. Bunda juga belum denger ceritanya. Siska cuma ngabarin itu ke Bunda tadi. Katanya sekarang udah dibawa ke RCH. Ayo Yah ke sana, Rahes pasti butuh Ayah" ujar Bunda Riana sembari memegangi lengan Ayah Mada. Mungkin faktor syok karena mendapatkan berita buruk, suara Bunda Riana terdengar begitu lemah.

"Iya iya Bun, kita ke sana" Ayah Mada segera beranjak dari posisinya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka sejenak.

Tidak berselang lama kemudian, Ayah Mada keluar dari kamar mandi. Ayah Mada mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tidak melihat keberadaan Bunda Riana. Sadar bahwa tas selempang putih yang selalu Bunda Riana kenakan sudah tidak ada di kamar, sepertinya cukup untuk menjadi pemertegas bahwa Bunda Riana pasti sudah keluar kamar.

Ayah Mada memutuskan untuk tidak mengganti bajunya. Dia membiarkan tubuhnya dibalut oleh kaos lengan panjang dan celana bahan. Dia tidak mau semakin membuang-buang waktu di situasi penuh kepanikan seperti saat ini. Kemudian Ayah Mada segera mengambil handphone dan juga kunci mobil dari meja nakas di sisi ranjang.

Ayah Mada mulai bergerak keluar kamar sembari memanggil Bunda Riana. "Bun"

"Iya Yah"

Suara Bunda Riana terdengar dari lantai atas menyahutinya. Sepertinya Bunda Riana memberitahu Ankara sejenak perihal berita buruk ini, pun mereka yang akan segera ke RCH. Tidak berselang lama kemudian Bunda Riana turun ke lantai bawah dengan tas putih yang sudah tersampir di bahunya. "Bunda udah bilang ke Adek, nanti Adek nyusul. Ayo Yah" ujar Bunda, masih dengan nada suara paniknya.

[5] Everyday : Home Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang