Malam itu menjadi penanda akhir yang tak terhindarkan. Kegelapan yang mereka lawan selama ini ternyata tidak akan pergi dengan mudah. Ketika anak itu muncul lagi, lebih kuat dan berbahaya, Myra menyadari sesuatu—hanya ada satu cara untuk benar-benar menghentikannya: *seseorang harus jadi korban.*
Dia berdiri di tengah lingkaran, dikelilingi Kaelan, Raden, Asher, Aislin, dan Revanna. Angin malam menerpa wajah mereka, membawa bisikan samar dari sosok kegelapan yang masih mengintai.
Myra menatap wajah teman-temannya dengan sedih. "Gue udah tahu, cuma ini caranya. Kalau gue nggak ngelakuin ini, dia bakal terus datang... Dan kali ini kita nggak bakal selamat."
Kaelan langsung meraih lengannya. "Lo nggak perlu ngelakuin ini, Myra! Kita bisa cari cara lain!"
Myra menunduk, suaranya bergetar tapi tegas. "Nggak ada cara lain, Kael. Gue yang harus ngakhirin ini. Gue nggak bisa biarin kalian semua hancur gara-gara gue takut."
Raden menggeleng cepat. "Lo nggak serius kan? Ini gila, Myra!"
Asher, yang biasanya tenang, akhirnya ikut kehilangan kendali. “Ini bukan tanggung jawab lo sendiri! Kita bisa lawan bareng-bareng!”
Tapi Myra hanya tersenyum kecil, tatapannya lembut. “Kita udah lawan bareng, dan gue bersyukur untuk itu. Tapi gue sadar… kegelapan ini terlalu kuat. Dia hidup dari rasa takut kita, dan satu-satunya cara buat berhenti adalah kalau gue ngambil alih semua itu. Biar dia bawa ketakutan gue… asal kalian bisa bebas.”
Kaelan menahan air mata yang sudah menggenang di matanya. “Gue nggak bisa kehilangan lo, Myra… Lo pacar gue! Lo segalanya buat gue!”
Myra memegang wajah Kaelan dengan lembut, jari-jarinya menyentuh pipi yang basah. "Gue tahu, Kael. Gue sayang lo juga." Dia mencondongkan tubuh, memberikan ciuman terakhir di keningnya. "Tapi lo harus kuat. Buat gue."
Kaelan memegang tangan Myra erat-erat, seakan kalau dia melepaskan, segalanya akan hancur. Tapi Myra menyingkirkan tangannya dengan lembut dan menatap yang lain.
“Aislin, Revanna, gue minta maaf kalo gue bikin kalian ngerasa gagal. Ini bukan salah kalian. Gue janji, kalian udah ngelakuin yang terbaik.”
Aislin mulai menangis, menggigit bibirnya agar tidak terisak. “Myra… jangan kayak gini. Kita butuh lo…”
Revanna hanya bisa mengangguk lemah, air mata jatuh tanpa henti. "Gue nggak tahu gimana caranya kita jalan terus tanpa lo."
Myra lalu beralih ke Asher. "Ash… Gue tahu lo bakal nyalahin diri lo. Tapi lo harus ngerti satu hal: nggak semua hal bisa lo kendaliin, dan nggak semua hal harus lo selamatin."
Asher mengepalkan tangan dengan keras, matanya penuh kesedihan dan amarah. "Gue janji... Kalau ada kesempatan kedua, gue nggak bakal biarin ini terjadi lagi."
Myra tersenyum, kali ini dengan ketenangan yang aneh. "Kalian harus percaya satu hal... Kadang, ngorbanin diri itu bukan akhir. Itu permulaan."
Dan sebelum siapa pun sempat menghentikannya, Myra melangkah ke arah sosok kegelapan yang mengintai di bawah pohon besar itu.
“Kalian nggak akan menang,” katanya tenang, menatap sosok itu langsung. “Gue kasih lo semua rasa takut dan keraguan gue… Asal lo lepasin mereka.”
Kegelapan itu tertawa pelan, seperti puas. "Kamu pikir ini cukup?"
“Gue nggak peduli,” jawab Myra dengan tenang. “Ambil gue. Lepasin mereka.”
Sebelum yang lain sempat berbuat apa-apa, bayangan hitam itu melesat cepat, menyelubungi tubuh Myra. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan ngeri saat dia terserap ke dalam kegelapan—sosoknya memudar, hilang ditelan malam.
"Myra!" Kaelan berteriak, mencoba mengejar, tapi sudah terlambat. Hanya bayang-bayang yang tersisa di tempat Myra berdiri.
Dan dengan itu, semuanya hening.
****
Hari-hari setelah kepergian Myra terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir. Kaelan berjalan di sekolah seperti bayangan dirinya sendiri, tenggelam dalam kesedihan yang tak bisa dia ungkapkan. Dunia terasa hampa tanpa Myra di sisinya.
Raden, sahabat terdekat Kaelan, berusaha menghibur tapi tak tahu harus berkata apa. "Gue nggak ngerti, Kael. Kenapa harus dia? Kenapa dia ngerasa harus ngelakuin semua itu sendirian?"
Kaelan hanya menggeleng dengan tatapan kosong. “Karena dia selalu mikirin kita duluan, Den... Dan gue nggak bisa ngelindungin dia.”
Asher duduk di sudut perpustakaan, memandangi buku-buku tua yang sekarang terasa tidak ada gunanya. Rasa bersalah menggantung di pikirannya. “Harusnya gue tahu ada cara lain. Harusnya gue lebih peka…”
Aislin dan Revanna pun tak berhenti menangis setiap kali mereka mengingat kejadian itu. "Gue nggak tahu gimana caranya kita bisa ngelanjutin semua ini," Aislin mengaku lirih.
Revanna meremas tangannya sendiri, merasa bersalah. "Kalau aja kita lebih berani... mungkin kita bisa nyegah dia."
Malam-malam mereka dipenuhi mimpi buruk. Sosok Myra muncul dalam setiap mimpi—tidak marah, tidak kecewa, hanya tersenyum. Seakan dia ingin memberi tahu mereka bahwa dia tidak menyesal. Tapi mimpi itu justru membuat luka mereka semakin dalam.
**Kaelan tidak pernah benar-benar menerima kepergian Myra.** Setiap kali dia berdiri di bawah pohon besar tempat semuanya terjadi, dia berbisik sendirian, berharap Myra bisa mendengarnya.
"Maaf... Gue nggak bisa jagain lo."
Tapi angin hanya berhembus pelan, membawa sunyi.
Seiring berjalannya waktu, mereka mulai belajar menerima bahwa Myra mungkin tidak akan kembali. Tapi satu hal yang mereka tahu—dia tidak berkorban sia-sia. Kegelapan itu tidak pernah muncul lagi. Setidaknya, tidak dalam bentuk yang sama.
Namun, jauh di dalam hati mereka, masing-masing membawa secercah harapan. Bahwa suatu hari, entah bagaimana caranya, mereka bisa menemukan cara untuk membawa Myra kembali.
Kaelan berjanji pada dirinya sendiri: *Gue bakal nemuin cara, Myra. Apa pun yang terjadi, gue bakal balikin lo ke sini.*
Raden, Asher, Aislin, dan Revanna berdiri di samping Kaelan, meskipun mereka tahu jalan di depan tidak akan mudah. Tapi kali ini, mereka tidak akan membiarkan rasa takut menguasai mereka.
Karena jika ada satu hal yang mereka pelajari dari Myra, itu adalah: **kegelapan tidak akan pernah menang selama mereka tetap bersama.**
KAMU SEDANG MEMBACA
06 DETECTIVE (END)
Mystery / Thriller06 Detective, adalah sekumpulan remaja anak SMK yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Awalnya mereka memiliki sebuah masalah dan semakin lama, mereka bisa menangani sebuah kasus yang awalnya biasa saja, namun semakin menjadi-jadi. Kini bukan te...