BAB 10

19 11 6
                                    

Malam semakin larut, namun Kaelan, Asher, Raden, Aislin, dan Revanna masih berdiri di bawah pohon besar itu. Di hadapan mereka, Myra yang telah mereka panggil akhirnya kembali. Namun wajahnya tampak pucat, dan mata cokelat hangatnya seakan masih dibayangi kesedihan. Pita rambut berwarna cerah yang selalu ia kenakan masih terikat di rambut kepang satunya, seolah waktu tidak pernah bergerak sejak kepergiannya. 

"Myra..." Kaelan berbisik, hatinya seakan meledak antara bahagia dan takut. Ia ingin memeluk Myra, tapi sesuatu di dalam dirinya menahan.

Asher, yang selalu tenang dan rasional, memperhatikan situasi dengan cermat. Ia mendorong kacamatanya ke atas, lalu mendekati Kaelan. “Gue nggak yakin ini udah selesai. Lo liat, kan? Matanya… kayak ada yang masih terperangkap di dalamnya.”

Kaelan mengepalkan tangannya, mata tajamnya menatap Myra. "Gue nggak peduli. Yang penting dia di sini." Suaranya dingin, tapi emosinya meletup-letup di dalam. Tas selempang yang selalu ia pakai terasa lebih berat malam ini, seolah memikul semua perasaannya sekaligus.

"Kael, kita harus hati-hati," ujar Aislin dengan nada lembut tapi tegas. Tubuh jangkungnya bergetar, meskipun ia berusaha terlihat tenang. "Kita nggak tau apa yang sebenarnya terjadi sama Myra selama ini di sana."

Myra tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sepenuhnya sampai ke matanya. “Gue baik-baik aja... Jangan khawatir.” Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir *permen sindik*, makanan favoritnya, lalu memakannya pelan-pelan seperti kebiasaannya dulu.

Namun ada sesuatu yang tidak biasa. Raden, yang biasanya selalu bercanda dan menyebarkan tawa, malah terdiam kali ini. Earphone-nya tergantung di leher, dan untuk pertama kalinya, ia tidak menyanyikan lagu sembarangan. "Kok gue ngerasa nggak enak, ya?" gumamnya sambil mengernyit.

Revanna mengibaskan rambut panjangnya yang selalu diurai dan menatap tajam. "Myra... Lo beneran masih Myra, kan?" Nada skeptisnya muncul, dan wajar saja—pengalaman kehilangan sahabat membuatnya waspada.

Myra tertawa kecil. "Rev, masih aja lo sinis." Namun tawanya terasa kosong.

Raden, yang merasa suasana semakin canggung, mencoba menghidupkan suasana. “Eh, abis ini kita makan soto ayam yuk! Traktiran Aislin, kan lo suka soto ayam?” Ia menepuk bahu Aislin dengan senyum lebar, mencoba mencairkan ketegangan.

Aislin memutar matanya, tapi senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Gue sih nggak nolak. Asal lo jangan nyanyi, Den.”

"Eh, suara gue tuh underrated! Lo aja nggak ngerti seni!" sahut Raden sambil tertawa, sedikit lega melihat respons Aislin.

Sementara itu, Kaelan masih terdiam. Pikiran-pikirannya berputar cepat. Mata elang miliknya menelusuri setiap gerak-gerik Myra, seolah mencoba menemukan tanda bahwa semuanya benar-benar baik-baik saja. Namun, jauh di dalam hatinya, ada kekhawatiran yang tak bisa ia abaikan.

“Asher,” Kaelan akhirnya bicara, pelan tapi tegas. “Gue butuh lo buat cek buku itu lagi. Gue punya firasat buruk.” 

Asher mengangguk. "Gue udah duga bakal begini." Ia segera membuka buku *Ritual dan Rahasia Kegelapan* yang mereka temukan di perpustakaan. Dengan cepat, ia membalik halaman demi halaman, mencari bagian tentang *efek samping ritual pemanggilan*. “Gue rasa, ada sesuatu yang kita lewatkan.”

“Efek samping?” tanya Revanna dengan dahi berkerut. "Kayak rambut jadi lepek atau apa?"

“Bukan,” balas Asher sambil menahan senyum. “Gue serius. Ini lebih dari sekedar memanggil kembali jiwa yang hilang. Ada risiko... Kalau kita nggak kuat secara emosional dan mental, ritual ini bisa membuka jalan buat *makhluk gelap* yang mengikutinya.”

06 DETECTIVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang