BAB 16

14 11 1
                                    

Hari berikutnya, Myra merasa gelisah. Kecemasan menggerogoti pikirannya saat dia harus ketemu sama cowok yang dijodohin ayahnya. Jelas, dia lebih milih ngumpul bareng temen-temennya, jadi dia rencananya mau ke kafe dekat sekolah bareng Kaelan, Raden, Asher, dan Aislin.

Begitu sampai di kafe, suasana terasa ceria meski Myra masih ngerasa ada yang aneh. Revanna seharusnya ikut, tapi dia nggak ada di situ. Aislin, dengan semangatnya, bilang, “Eh, Revanna, lo mau beli cemilan nggak? Kita tunggu di sini!”

Revanna mengangguk dan pergi ke counter kafe. Beberapa menit berlalu, dan mereka mulai ngerasa tegang.

“Kenapa dia lama banget, ya?” tanya Myra sambil nyuri pandang ke arah pintu keluar.

Kaelan, yang duduk di sampingnya, terlihat nggak nyaman. “Mungkin dia cuma antri. Lo tahu kan, kafe ini selalu ramai.”

Aislin nambahin, “Tapi biasanya dia cepet. Gue mulai khawatir nih.”

Raden nyentuh bahu Myra. “Gue rasa kita harus cek. Ini udah lebih dari sepuluh menit.”

“Baiklah, kita pergi cari dia,” kata Asher sambil nutup bukunya dan berdiri. “Mungkin ada yang salah.”

Mereka semua buru-buru menuju counter, tapi Revanna nggak ada di situ. Myra ngerasa kecemasan makin menguasai pikirannya. “Gue harus hubungi dia,” ucapnya sambil ngeluarin ponsel.

Pas Myra coba nelpon Revanna, nada deringnya bergetar, tapi nggak ada jawaban. “Dia nggak ngangkat!” Myra bilang panik. “Ada apa ini?”

Kaelan ngernyut kening. “Kita perlu cari dia. Dia mungkin butuh bantuan.”

Mereka mutusin untuk bagi dua tim. Kaelan sama Raden bakal cari di luar kafe, sementara Asher sama Aislin bakal cari di dalam.

Setelah beberapa menit yang kerasa kayak berjam-jam, Kaelan dan Raden balik dengan wajah cemas. “Nggak ada tanda-tanda Revanna,” kata Kaelan. “Gue takut ada yang nggak beres.”

Asher menggigit bibirnya, terlihat serius. “Kita harus nyelidikin lebih lanjut. Revanna pasti lagi dalam masalah.”

Myra ngerasa jantungnya berdebar kencang. “Kita harus nemuin dia sebelum terlambat.”

Dengan harapan yang masih nyala, mereka bersatu sebagai 06 DETECTIVE, siap menghadapi apapun yang menghadang di depan mereka.

Revanna melangkah keluar dari kafe, berusaha menyeimbangkan beberapa wadah cemilan di tangannya. Dia merasa senang bisa bantu temen-temennya, tapi saat berbalik ngelihat kafe, ada yang aneh. Suasana di luar terasa berbeda, seolah ada yang ngawasinnya.

Dia berusaha menepis perasaan itu dan terus jalan. Namun, pas dia nyebrang jalan, dia denger suara langkah kaki cepat di belakangnya. Instingnya bergetar, dan pas dia nengok, nggak ada siapa-siapa. Mungkin cuma perasaannya aja.

Dia terus jalan, tapi pas lewat sudut, dua orang cowok mendekatinya. Revanna langsung ngerasa ada yang mencurigakan. Salah satu dari mereka mendekat dan tersenyum, tapi senyumnya malah bikin merinding.

“Eh, kenapa lo sendirian?” tanya cowok itu, suaranya serak.

Revanna berusaha tetap tenang. “Gue cuma mau balik ke kafe.”

Cowok itu tertawa kecil. “Kafe? Nggak ada yang nyari lo, kan? Mending kita ngobrol sedikit.”

Ketakutan mulai merayap di punggung Revanna. Dia berusaha mencari jalan buat pergi, tapi cowok itu udah pegang lengannya. “Jangan lari, gue cuma mau berteman.”

Dengan segenap tenaga, Revanna narik lengannya dan berbalik. “Lepasin gue!”

Cowok yang satu lagi coba mendekat, tapi Revanna langsung lari menjauh. Dia nggak tahu harus ke mana, tapi instingnya bilang dia harus segera cari tempat aman.

06 DETECTIVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang