BAB 9

19 12 13
                                    


Rumah Myra terasa sunyi, jauh lebih sunyi dari biasanya. Foto-foto Myra masih terpajang di dinding, senyum di dalam bingkai seolah membekukan kebahagiaan yang kini tinggal kenangan. Keluarganya terjebak dalam duka mendalam—kesedihan yang meretakkan hubungan mereka dan orang-orang di sekitarnya. 

**Ayah Myra, Pak Ardan,** adalah sosok yang dikenal kuat dan tegas. Namun, kekuatan itu kini berubah menjadi kemarahan yang tak bisa dibendung. Ketika mendengar cerita tentang pengorbanan Myra dari Kaelan dan teman-temannya, amarahnya langsung meledak. 

“Lo yang bawa anak gue ke masalah ini!” suara Pak Ardan menggema keras di ruang tamu saat Kaelan datang untuk meminta maaf. "Anak gue masih hidup kalau lo nggak ada!" 

Kaelan berdiri dengan wajah pucat, dadanya sesak. “Pak, gue... Gue sayang sama Myra. Gue nggak mau semua ini terjadi, tapi Myra...” 

“Jangan bawa-bawa perasaan lo!” bentak Pak Ardan, matanya memerah. “Sayang? Itu bukan cinta. Itu kebodohan! Dan karena kebodohan lo, gue kehilangan anak gue!” 

Kaelan mencoba menahan air matanya, tapi dia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki ini. Dia menunduk, merasa kalah. 

Pak Ardan menatapnya tajam, lalu mengucapkan kata-kata yang menghantam Kaelan seperti pukulan telak. **“Gue nggak akan pernah restuin lo buat jadi bagian hidup Myra. Kalau dia ada di sini hari ini, gue juga bakal larang dia deket sama lo!”** 

Kaelan hanya berdiri di sana, patah hati, tanpa kekuatan untuk melawan atau membela diri. 

**Ibunda Myra, Ibu Lina,** duduk di sofa dengan wajah yang basah oleh air mata. Sejak Myra pergi, dia hampir tidak pernah berhenti menangis. Myra adalah anak satu-satunya, tumpuan harapan dan kebanggaannya. 

“Kenapa harus dia, Tuhan…” isaknya sambil menggenggam foto Myra erat-erat, seakan dengan itu dia bisa membawa anaknya kembali. “Dia anak yang baik… Dia nggak pantas pergi secepat ini.” 

Raden, yang menemani Kaelan, mencoba berbicara dengan lembut pada Ibu Lina. “Tante, kami juga sedih... Kami semua kehilangan Myra.” 

Ibu Lina menatap mereka dengan mata berkaca-kaca, wajahnya dipenuhi kesedihan yang tak bisa dilukiskan. “Kalian nggak tahu rasanya... kehilangan anak yang udah lo jaga seumur hidup. Myra adalah segalanya buat kami.” 

Asher dan Revanna yang berdiri di belakang, juga merasakan beban kesalahan semakin berat di pundak mereka. Mereka tahu Ibu Lina tidak bermaksud menyalahkan mereka, tapi setiap kata-katanya seolah mengingatkan mereka pada kegagalan mereka melindungi Myra. 

Malam setelah pertemuan dengan keluarga Myra, Kaelan kembali ke kamarnya, terjebak dalam pusaran rasa bersalah dan kehilangan. Dia terduduk di sudut ruangan, kepalanya tertunduk dalam-dalam. Air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya mengalir. 

"Maaf, Myra... Gue nggak bisa jagain lo," gumamnya, suaranya serak karena menahan tangis. 

Dia menatap ponselnya yang masih menyimpan pesan-pesan terakhir dari Myra. Tidak ada kata-kata panjang, hanya pesan sederhana—tetapi penuh makna: *“Apa pun yang terjadi, gue selalu ada di hati lo. Jangan pernah lupa itu.”* 

Pesan itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Justru sebaliknya—kata-kata itu menghantui pikirannya setiap malam, seakan mengingatkannya pada apa yang telah hilang dan tak akan pernah kembali. 

****

Di sisi lain, Aislin dan Revanna juga terjebak dalam perasaan bersalah yang tidak kalah menyakitkan. Setiap kali mereka mengingat malam saat Myra mengorbankan diri, mereka merasa menjadi pengkhianat—karena tidak menghentikan sahabat mereka untuk menghadapi kegelapan sendirian. 

06 DETECTIVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang