BAB 18

18 13 3
                                    

Di kelas, suasana mulai ramai saat pelajaran pertama dimulai. Thalia, Nerissa, dan Selene baru saja tiba.

Thalia adalah gadis dengan rambut panjang berwarna pirang keemasan yang selalu dibiarkan terurai. Dia dikenal dengan gaya fashion yang stylish, sering memakai aksesori mencolok, dan memiliki senyum yang menawan. Saat dia masuk, matanya langsung tertuju pada Kaelan, seolah sedang mengincarnya.

Nerissa adalah sosok yang lebih pendiam, dengan rambut cokelat gelap yang selalu diikat rapi. Dia memiliki gaya yang lebih kasual dan sederhana, sering mengenakan kaos oversized dan celana jeans. Meskipun biasanya tidak banyak bicara, kehadirannya selalu terasa, terutama ketika dia melirik ke arah Thalia dengan sinis.

Selene, sahabat Thalia dan Nerissa, adalah gadis bertubuh ramping dengan rambut hitam yang diwarnai biru di ujungnya. Dia selalu tampil berani dengan makeup yang mencolok dan baju yang edgy. Selene tampak lebih santai dan seringkali tertawa, berusaha mencairkan suasana di antara teman-temannya.

Sementara itu, Kaelan yang sibuk menatap Myra, tidak menyadari ketiga gadis itu memasuki kelas. Asher, di sisi lain, asyik membaca buku, meskipun pikirannya melayang. Raden terlihat bersemangat melihat kedatangan Thalia dan yang lainnya, membuat Aislin merasa cemburu dan mengendus. Revanna hanya bisa menahan tawa melihat reaksi Aislin.

Di tengah semua itu, Thalia terus menatap Kaelan dengan tatapan penuh perhatian, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Suasana di kelas semakin menarik perhatian saat interaksi antara mereka semakin jelas.

Saat suasana kelas mulai ramai, tiba-tiba guru mata pelajaran, Bu Indah, masuk dengan tegas. Dia menatap murid-muridnya dengan serius dan berkata, “Baik, semua, harap perhatian ke depan!”

Semua murid pun langsung terdiam dan mengalihkan fokus mereka. Bu Indah, seorang guru yang dikenal disiplin tapi juga humoris, mulai menjelaskan materi dengan penuh semangat. “Hari ini kita akan membahas topik penting yang berkaitan dengan sejarah, jadi saya harap kalian semua bisa ikut serta.”

Kaelan, yang sebelumnya terfokus pada Myra, berusaha mengalihkan perhatiannya ke papan tulis. Di sisi lain, Asher masih terlihat sedikit melamun, meskipun dia berusaha mengikuti penjelasan. Raden tampak lebih antusias, sesekali mengangguk saat Bu Indah memberikan penjelasan.

Revanna dan Aislin saling berbisik, mencoba mencuri perhatian satu sama lain di tengah pelajaran. Thalia, sementara itu, terus mencuri pandang ke arah Kaelan, membuatnya semakin sulit untuk berkonsentrasi. Nerissa menggelengkan kepala melihat kelakuan Thalia, sedangkan Selene hanya tertawa kecil.

Bu Indah menyadari keributan kecil di kelas dan menatap Thalia dengan tatapan tajam. “Thalia, bisa tolong fokus? Ini penting untuk ujian mendatang!”

Thalia terkejut dan langsung membetulkan posisinya, sementara Raden tidak bisa menahan tawa. Aislin menatap Raden dengan tatapan cemburu, merasa terganggu oleh perhatian Raden yang terlalu pada Thalia.

Dengan suasana yang kembali tenang, Bu Indah melanjutkan penjelasannya. “Jadi, sejarah itu penting karena …” Dia mulai mendalami topik, dan meskipun beberapa murid tampak fokus, perhatian mereka juga terbagi oleh drama kecil yang terjadi di antara mereka.

Saat Bu Indah menjelaskan tentang peristiwa sejarah yang penting, Myra mencoba untuk tetap fokus meskipun pikirannya terus melayang ke situasi yang baru saja terjadi. Dia mencuri pandang ke arah Kaelan, yang tampak serius mencatat. Raden sesekali melemparkan senyuman pada Aislin, tapi perhatian Aislin lebih tertuju pada Thalia yang terus menatap Kaelan.

“Jadi, siapa yang bisa memberi tahu saya tentang peristiwa penting di tahun 1945?” tanya Bu Indah, memecah konsentrasi kelas.

Raden, yang selalu siap menjawab, langsung mengangkat tangan. “Itu tahun yang penting, Bu! Itu tahun Indonesia merdeka!”

“Betul sekali, Raden!” Bu Indah tersenyum. “Kalian harus ingat bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan itu tidak mudah. Banyak tokoh yang terlibat …”

Meskipun penjelasan Bu Indah sangat menarik, Revanna tetap merasa cemas. Dia mencuri pandang lagi ke arah Thalia, yang kini tampak lebih berani mendekati Kaelan. “Kayaknya Thalia sudah berani deh,” bisiknya kepada Aislin.

Aislin mengerutkan kening, tidak suka dengan perhatian yang diberikan Kaelan kepada Thalia. “Iya, dan itu bikin gue sebel. Seolah-olah dia satu-satunya di dunia ini,” jawabnya dengan nada frustrasi.

Sementara itu, Nerissa yang duduk di sebelah Thalia, berusaha untuk mengalihkan perhatian. “Thalia, lo harus fokus! Ini pelajaran penting,” katanya sambil menggoda.

Thalia hanya tersenyum, masih tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Kaelan. “Iya, iya … Tapi Kaelan kan lebih menarik,” balasnya sambil tertawa.

Suasana di kelas kembali ke fokus, meskipun masih ada bisikan-bisikan kecil di antara murid. Bu Indah melanjutkan penjelasannya dengan penuh semangat, dan meskipun Myra merasa gelisah, dia tahu bahwa dia harus tetap memperhatikan. Dia bisa merasakan ada yang lebih besar yang akan datang, dan dia bertekad untuk siap menghadapinya.

“Sekarang, mari kita diskusikan dampak dari peristiwa tersebut pada generasi selanjutnya …” Bu Indah melanjutkan, dan Myra, bersama dengan yang lainnya, berusaha untuk terlibat.

Bu Indah mulai membagi kelas menjadi beberapa kelompok untuk mendiskusikan dampak peristiwa sejarah tersebut. Myra merasakan semangatnya kembali sedikit. Diskusi kelompok selalu membuatnya lebih fokus.

“Baik, kalian akan berdiskusi tentang bagaimana kemerdekaan memengaruhi kehidupan masyarakat saat itu,” lanjut Bu Indah. “Setiap kelompok harus menyiapkan presentasi singkat.”

Myra merasa beruntung karena satu kelompok dengan Kaelan, Raden, dan Aislin. Revanna juga tergabung dalam kelompok mereka. Raden terlihat antusias, siap berbagi ide-ide briliannya.

“Gue rasa kita harus menyoroti perjuangan para pahlawan,” kata Raden, membuka pembicaraan. “Tanpa mereka, kita tidak akan ada di sini.”

“Iya, tapi kita juga harus bicara tentang dampak sosialnya,” tambah Myra. “Kayak bagaimana masyarakat bersatu dalam menghadapi penjajahan.”

Aislin menyela, “Jangan lupa juga tentang perempuan yang berperan penting. Mereka ikut berjuang meski sering diabaikan.”

Revanna yang mendengarkan, langsung menambahkan, “Dan kita bisa bahas tentang tokoh-tokoh yang berkontribusi. Misalnya R.A. Kartini.”

Sementara mereka berdiskusi, Thalia dan Nerissa terlihat berbicara serius di kelompok mereka. Thalia, yang tak bisa menahan diri, terus menatap Kaelan, berusaha menarik perhatian.

“Kaelan, lo tahu gak kalau ada banyak tokoh perempuan yang juga berjuang?” tanyanya. “Kayak R.A. Kartini.”

Kaelan yang tadinya serius mendengarkan, kini tampak tersenyum. “Iya, bener juga. Kita bisa masukin dia di presentasi kita.”

Myra merasakan ketegangan di antara Aislin dan Thalia. “Gue rasa kita harus fokus, ya? Mumpung waktunya terbatas,” ucap Myra, berusaha meredakan situasi.

Ketika kelompok mereka mulai menyusun presentasi, Revanna mencuri pandang ke arah Thalia dan Nerissa yang terlihat berbicara serius. “Lo yakin mereka benar-benar serius?” bisik Revanna pada Myra.

Myra mengangguk. “Kayaknya Thalia berusaha banget menarik perhatian Kaelan. Tapi kita harus tetap fokus sama tugas kita.”

Diskusi berlangsung seru, dengan berbagai ide dan pendapat yang saling bersaing. Di tengah kesibukan, Myra merasa seolah ada ketegangan yang lebih dalam, menunggu saat yang tepat untuk muncul.

Saat bel berbunyi, menandakan akhir jam pelajaran, mereka semua bersiap untuk presentasi. “Oke, kita harus tampil terbaik,” kata Aislin dengan semangat, berusaha menyemangati tim.

Revanna berusaha menenangkan pikirannya. “Kita bisa lakukan ini. Yang penting, kita berusaha bersama.”

Dengan semangat baru, mereka bersiap untuk berbagi ide dan pengetahuan di depan kelas, tidak hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang persahabatan dan kekuatan yang mereka miliki sebagai tim.

06 DETECTIVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang