Setelah menghabiskan waktu yang menyenangkan di taman, Kaelan dan Raga mengantar Myra sampai taksi tiba. Sebelum Myra masuk ke dalam mobil, Kaelan memberikan pelukan hangat. “Aku akan menghubungimu nanti,” ujarnya, berusaha mengalihkan rasa cemas di hatinya.
Myra tersenyum. “Aku tidak sabar menunggu pesan darimu. Hati-hati di lapangan basket besok!” Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam taksi dan melambaikan tangan sebelum mobil itu melaju.
Di dalam taksi, Myra merenung, teringat momen indah bersama Kaelan dan Raga. Namun, ketika ponselnya berbunyi, dia melihat pesan dari ayahnya.
> *Myra, pulang sekarang. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Jaga diri di jalan.*
Pesan tersebut membuat perut Myra berkerut. Dia tahu bahwa ayahnya sangat protektif dan keras kepala, apalagi karena dia adalah anak satu-satunya. Myra menyandarkan kepala di jendela, melihat lampu-lampu kota yang berlalu, pikirannya dipenuhi kekhawatiran.
Setibanya di rumah, Myra membuka pintu dengan pelan dan menemukan ayahnya sudah menunggu di ruang tamu dengan ekspresi serius. “Kau datang terlambat,” katanya tegas.
“Myra, aku ingin berbicara tentang masa depanmu,” ucap Ayahnya, menyilangkan tangan di depan dada. “Ada seorang pemuda yang ingin kukenalkan padamu. Dia seumuranmu dan sangat baik. Aku rasa dia bisa menjaga kamu lebih baik daripada Kaelan.”
Myra merasa darahnya mendidih. “Ayah, aku sudah punya pacar! Namanya Kaelan, dan aku merasa nyaman bersamanya. Tidak ada yang bisa menggantikan itu!” Suaranya meninggi, tetapi dia berusaha menahan emosinya.
“Aku tidak peduli siapa dia! Yang aku lihat adalah dia adalah anak yang baik, tapi tidak bisa menjaga putriku dengan baik. Kau tahu aku hanya ingin yang terbaik untukmu,” jawab Ayahnya, nada suaranya tetap tegas. “Anak laki-laki itu datang dari keluarga yang baik, dan aku rasa dia lebih cocok untukmu.”
Myra merasakan ketegangan di dalam hatinya. Dia tahu bahwa ayahnya hanya ingin melindunginya, tetapi dia merasa tak berdaya. “Ayah, aku cinta Kaelan. Kenapa tidak bisa mendukungku?”
Ayahnya menghela napas, terlihat lelah. “Aku ingin kau aman, Myra. Bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depanmu. Ibumu setuju dengan keputusanku ini.”
Myra terdiam, menyadari bahwa ia tidak bisa menentang kedua orang tuanya. “Tapi… apa aku tidak punya suara dalam hal ini? Aku tidak ingin dijodohkan dengan orang lain,” ujarnya, suaranya pelan, penuh rasa sedih.
“Aku tidak bermaksud mengabaikan keinginanmu, tetapi aku juga tidak ingin melihatmu terluka. Dia tidak seperti anak laki-laki yang kau kenal,” Ayahnya menjelaskan, berusaha meyakinkan Myra.
“Kaelan bukan sembarang anak! Dia cerdas, berani, dan selalu melindungiku,” Myra membela. “Apa yang harus kulakukan untuk membuktikan bahwa dia layak?”
“Waktu akan membuktikannya. Aku hanya ingin kau berpikir dengan hati-hati sebelum membuat keputusan,” balas Ayahnya.
Myra merasa putus asa. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Kaelan sangat kuat, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan keinginan orang tuanya. Dia terjebak antara cinta dan kewajiban.
“Aku akan memikirkan ini, Ayah. Tapi tolong, beri aku waktu,” Myra menjawab akhirnya, suaranya penuh harapan meski hatinya terasa hancur.
Setelah perbincangan yang tegang itu, Myra pergi ke kamarnya, berusaha mencerna semua yang baru saja terjadi. Dalam hati, dia berdoa agar Kaelan mengerti dan mendukung keputusannya. Namun, ia juga merasa berat karena harus menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka mungkin tidak diterima oleh orang tuanya.
Di luar jendela, malam semakin gelap, tetapi Myra tahu bahwa kegelapan itu tidak sepenuhnya menakutkan—sebab ada harapan yang selalu bersinar, meskipun redup. Dia bertekad untuk berjuang demi cinta mereka, meskipun jalan yang harus ditempuh sangat sulit.
Myra mengangguk pelan, menerima perjodohan itu dengan berat hati. Meskipun hatinya ingin berjuang untuk Kaelan, bujukan Ibu Lila membuatnya tidak bisa berkata tidak. Dia merasa terjebak antara kewajiban dan cinta.
"Anak ibu itu baik, Myra. Dia seumuran denganmu dan berasal dari keluarga baik. Ibu yakin dia bisa menjaga dan melindungimu," kata Ibu Lila lembut, berusaha meyakinkannya.
"Bu, tapi..." Myra berusaha melawan, ingin mengungkapkan perasaannya terhadap Kaelan. Namun, ia tahu betapa keras kepala Ayahnya. Dia tidak ingin membuat masalah lebih besar, jadi dia hanya bisa terdiam.
"Ibu tahu kamu sayang sama Kaelan, tapi kita harus memikirkan masa depanmu. Ayahmu hanya ingin yang terbaik untukmu," bujuk Ibu Lila lagi, memegang tangan Myra dengan penuh kasih.
Dengan air mata yang mulai menggenang, Myra hanya bisa mengangguk. Dalam hati, dia merasakan sakit yang mendalam, seolah-olah hatinya diiris-iris. Dia tidak ingin melukai Kaelan, tetapi situasi ini semakin membuatnya terjebak.
Di sisi lain, Kaelan yang sudah menunggu pesan dari Myra merasa khawatir. Dia tahu bahwa Myra pulang lebih awal dan berharap bisa berbicara dengannya. Saat ia melihat pesan masuk di ponselnya, ia segera membukanya, namun hatinya hancur saat membaca isi pesan itu.
*“Kael, maaf, aku harus pulang sekarang. Ayahku ingin bicara tentang sesuatu yang penting. Kita bicarakan nanti, ya?”*
Kaelan menggelengkan kepala, perasaan tidak enak menyelimuti dirinya. “Ada yang tidak beres,” gumamnya, merasakan firasat buruk.
Di dalam hatinya, Kaelan tahu bahwa ia harus berjuang untuk Myra. Dia tidak akan membiarkan siapa pun merusak hubungan mereka. Meskipun semua ini tampak gelap, ia bertekad untuk melindungi cinta mereka, apapun yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
06 DETECTIVE (END)
Mystery / Thriller06 Detective, adalah sekumpulan remaja anak SMK yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Awalnya mereka memiliki sebuah masalah dan semakin lama, mereka bisa menangani sebuah kasus yang awalnya biasa saja, namun semakin menjadi-jadi. Kini bukan te...