56. A

105 6 0
                                    

"Bro, mereka udah mulai nyari tahu pelaku pembunuhan dan yang ngirim paket buat Zee," kata seorang pria, suaranya bergetar di tengah suasana malam yang hening.

Laki-laki yang sedang menyesap segelas wine memutar kursinya, menatap si pembawa berita dengan tatapan yang tenang namun mengintimidasi. Senyumnya yang lebar menampakkan gigi putihnya, seolah tak ada beban di hatinya.

"Biarin mereka. Mereka nggak akan dapat siapa pelakunya. Kalau pun tertangkap, itu bukan pelaku asli."

"Lo yakin? Kalau ketahuan—" suara si pembawa berita terputus, ragu mengungkapkan kekhawatirannya.

"Bacot! Buktinya sekarang mereka nggak tahu, kan? Mereka yang terlalu bego, padahal petunjuknya jelas-jelas gampang." Laki-laki itu kembali menyesap wine, seolah mengabaikan ketegangan di udara.

"Lagipula, kenapa sih lo sampai harus bunuh anak itu? Cuma ngasih bekal doang, anjir," si pembawa berita melanjutkan, mencoba memahami logika di balik keputusan bosnya.

"Cuma?" Ia menyengir lebar, lalu menatap tajam. "Dia udah berani banget deketin Zee. Harus terima risiko. Ini bukan masalah sepele."

"Lo kalau ketahuan, gue nggak yakin Zee bakal maafin lo. Dia pasti bakal benci sama lo, Yan." Nada suara si pembawa berita berubah serius, menyoroti kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

"Lo daritadi banyak omong ya, Jendra? Tugas lo cuma ngasih info dan awasin Zee, bukan merintah gue."

"Gue nggak—"

"Listen," jawab laki-laki itu, menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai. "Zee tidak akan pernah tahu kebenarannya. Gue sudah atur semuanya. Apa yang terjadi adalah bagian dari rencana. Dan siapa pun yang berani menghalangi itu harus siap dengan konsekuensinya."

"Rencana? Lo yakin rencana ini bakal berhasil?" tanya si pembawa berita, mencerminkan keraguan yang mendalam.

Laki-laki itu tertawa kecil, menatap ke arah luar jendela, ke arah kota yang berkilau di malam hari. "Life is a game, my friend. And in every game, someone has to take the fall. They think they can play detective, but they have no idea what they're up against. This is just the beginning."

"Dan kalau Zee sampai tahu, lo nggak punya jaminan. Gue beneran yakin Zee nggak akan maafin lo," Jendra mengingatkan, merasakan gelombang ketidakpastian di antara mereka.

"Gue udah mengamankan semua jejak. Semua yang tersisa hanyalah bayangan. Zee nggak bakalan tahu, kecuali lo yang bongkar." Laki-laki itu kembali meneguk wine-nya, menambahkan. "Dia akan tetap anggap semuanya normal, dan gue akan selalu ada di sisinya. Lo cuma harus kerjain tugas yang gue kasih. Dan nggak usah banyak omong."

Suasana menjadi hening sejenak, hanya suara tetesan wine dari gelas yang terdengar. Laki-laki menyandarkan diri, memandangi langit malam yang gelap. "Jen, hidup ini memang kejam. Kita harus berbuat kejam untuk bertahan."

"Apa lo nggak pernah mikir ada cara lain?" tanya Jendra, ragu.

Laki-laki itu menggelengkan kepala, matanya menatap tajam. "In this world, weakness is a liability. If you want to play, you have to play hard. Otherwise, you end up like that kid—just another victim."

Jendra terdiam, merasa berat dengan kata-kata bosnya. "Tapi, bro, lo harus siap dengan konsekuensinya. Gue bukan mau jadi penghalang, tapi—"

"Jen, lo tinggal ikuti arusnya." Laki-laki itu berdiri, meraih jaket kulitnya yang tergantung di punggung kursi. "Sekarang, pergi. Awasi Zee, dan jangan sampai ada yang curiga."

Jendra menatap temannya, merasakan ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. "Oke, tapi ingat, lo masih bisa berubah pikiran. This doesn't have to end badly."

ZEE'S STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang