"Mbok....", mbok Darmi langsung melihatku saat ku panggil.
"Mbok punya photo anaknya enggak?", sejujurnya aku takut menanyakan ini, siapa tau aku pernah melihatnya di suatu tempat meski itu mustahil.
"Sepertinya mbok simpan di kamar", ucap mbok Darmi langsung pergi ke kamarnya.
Sedangkan aku duduk di dapur, karena suasananya cukup hangat karena dekat tungku api.
(Kebanyakan di kampungku masih mengandalkan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak, sedangkan di rumahku itu sudah memakai kompor gas apalagi itu pemberian dari pemerintah. Namun, semenjak aku pergi dan Dyana bekerja di warungnya mbok Darmi, kompor itu sudah lama tidak digunakan sehingga sewaktu aku kembali ke rumah, rasanya sangat berbeda semenjak pertama kali ku tinggalkan.)
Mbok Darmi kembali ke dapur, ku lihat dia membawa sebuah kertas.
Benar saja, mbok Darmi membawa sebuah ijazah SD dan bertulisankan nama Said Purnomo. Photonya pun seperti tidak asing bagiku, apalagi ada tahilalat di antara hidung dan bibirnya.
"Itu anakku nduk", ucap mbok Darmi yang sudah anggap aku sebagai perempuan, meski dirinya tahu identitasku.
"Ini kelahiran 87 ya mbok?", tanyaku
"Mbok ga inget, apalagi mbok ga bisa baca tulis", jawab mbok Darmi.
"Aku jadi ingat, ini seumuran dengan Umi Saadah",batinku. Tiba-tiba aku teringat wajah Umi dan anak laki-lakinya mbok Darmi mirip, tapi itu tidak mungkin kalau mereka itu orang yang sama. Apalagi menurut mitos, banyak orang berwajah mirip apalagi yang tinggal di dunia ini sudah miliaran, termasuk aku sendiri yang mirip dengan salah satu penghuni asramanya dulu.
Setelah ku lihat, aku minta peninggalan terakhir anaknya untuk disimpan dulu.
"Ini mbok, simpan dulu",
"Nadya bantuin mbok malam ini, apalagi Nadya ga bisa tidur malam ini hehe", sambil aku bersiap dan menyiapkan semuanya.
"Makasih ya nduk", karena tidak bisa tidur, aku membantu mbok Darmi mengiris sayuran dan lainnya untuk jualan besok. Ternyata cukup lama, dan merepotkan juga memasak dengan tungku kayu. Selain karena harus menjaga api tetap stabil, juga harus sabar ketika meniup ke arah tungku. Jika tidak terbiasa, bisa menghirup asap dan abu sisa pembakaran karenanya aku harus hati-hati, apalagi hampir terkena jilbab yang ku pakai.
"Syukurlah, sudah matang semua", ucap mbok Darmi setelah selesai memasak, biasanya kelar saat adzan subuh berkumandang. Belum lagi harus diantar ke warung yang jaraknya cukup jauh, beruntung mbok Darmi punya langganan tukang becak yang setia mengantar makanan itu ke warungnya.
"Kamu bisa istirahat, kalo enggak bisa tahajud dulu", ucap mbok Darmi.
"Tapi.....",
"Mbok ada mukena kok, anggap aja ini ucapan makasih dan kenang-kenangan dari mbok", ucap mbok Darmi mengajakku ke kamarnya, dan memberiku mukena baru.
"Daripada enggak mbok pakai, mending pakai kamu atau enggak istrimu aja", ucap mbok Darmi.
Entah mukena ke berapa yang ku terima dari orang lain, apalagi ini masih terbungkus plastik.
"Coba pakai, siapa tau cocok", suruh mbok Darmi agar aku memakai mukena pemberiannya.
Aku langsung mencobanya, dan benar saja menurut mbok Darmi, aku lebih pantas jadi perempuan ketimbang daripada lelaki sekarang. Aku tersipu malu karenanya.
"Udah ya, mbok mau istirahat",
"Kalo mau tahajud, bisa di kamar mbok. Jangan lupa nanti mbok bangunin buat subuh", ucapnya.
Karena sudah mengenakan mukena, aku langsung tahajud dengan sebelumnya wudlu terlebih dahulu.
Tak terasa waktu berlalu cepat apalagi suasana remang di rumah mbok Darmi, membuat diriku semakin nyaman dalam keheningan. Hingga adzan subuh berkumandang, dengan masih memakai mukena diriku membangunkan mbok Darmi dan Dyana yang ada di dalam kamar lain.
Dyana masih tertidur pulas, meski dirinya tidak bisa tidur dengan keadaan miring.
"Sayang... Sudah subuh", ucapku membangunkan Dyana dan kemudian terbangun, kami bertiga subuh berjamaah dengan imamnya diriku.
Cerita selengkapnya hanya di https://karyakarsa.com/cheesebuns555/jilbabku-part-18-21 atau link eksternal di sebelah tombol komentar
KAMU SEDANG MEMBACA
Jilbabku
Short StoryCerita seorang narapidana yang kabur dari penjara, dan menyamar sebagai seseorang karena ketidaksengajaan membuatnya harus merasakan penjara yang lain. Dengan terpaksa dan keadaan yang memintanya menjadi orang lain. Akankah narapidana ini akan menja...