“Abang ih, turunin~” jari lentik itu menarik daun telingga manusia usil yang tiga tiba mengangkatnya menuju kolam.
“Aww…aduh iya iya.” setelah di turunkan remaja itu menendang cukup kuat betis yang lebih tua.
Mata bulatnya mendelik sinis dan bibirnya mencebik kesal.
“Rasain tuh, Vian kebiri baru rasa.”
Tawa mengudara dari lima remaja yang sibuk dengan panggangan dan menata meja, sepertinya setelah Havian siuman dua hari lalu jiwanya bertukar dengan Gafier yang pingsan karena kekurangan darah.
Di panggangan daging, Arsya tersenyum bahagia melihat ke tujuh putranya tertawa lepas terutama si tengah yang selalu sukses membuat Alexandria geger dengan gebrakannya, yang kemarin itu berbahaya beruntung Gafier bisa menjinakan nya.
Pria setengah abad itu hanya berharap yang seperti kemarin tak lagi kembali karena yang lalu biarlah menjadi kenangan dan pelajaran di masa depan, bayang bayang Havian yang kembali memasuki IGD dan psikiater benar benar membuatnya dejavu.
Gafier ikut masuk UGD karena pingsan kehabisan banyak darah lalu menghabiskan dua hari rawat inapnya dengan memandang kosong plafon ruang VIP nya, Raffa yang menanggis seharian di ruangan Gafier bersama Janu yang menenagkannya, Zayden yang setia menatap wajah damai Havian sambil sesekali menangis, dan dua bungsu yang mengunci diri di kamar.
Mereka takut, takut masalalu kembali terulang karena kembalinya DID Manggala.
Flashback.
Dia Havian memiliki insting dewasa di fikirannya meski umur mengatakan 9 tahun, kepekaannya pada sekitar memang tidak bisa di bohongi hingga memar yang tertutup Bb cream pun bisa ia lihat.
Ringisan yang tertahan pun bisa ia dengar. Bullying, itu yang Havian simpulkan dari banyaknya luka di balik seragam adiknya yang setiap pulang pasti kotor, tugas yang selalu menumpuk di hari libur, dan uang jajan yang selalu ia minta pada Havian karena Vian tak akan cepu pada Daddy atau Abangnya yang lain.
Sore itu Arsya menjemput agak terlambat dan meminta anak anaknya diam di pos satpam, Cheriel meminta izin untuk ke toilet sendiri karena menolak yang lain saat menawarkan untuk di antar saja.
Havian menatap punggung itu menjauh memasuki gedung sekolah, perasaanya tak enak sekali.
“Bang, Vian susul adek ya biar ga nyasar sekalian mau beli jajan ke kantin.” alibi yang di dukung wajah polosnya.
“Jangan lama lama ya.”
Setelah itu Havian menitip tas dan berlari masuk se cepat yang ia bisa, seragamnya sudah ia ganti dengan jubah Judo berwarna biru tua karena seharusnya Havian ada latihan setelah selesai sekolah.
Brakk
Kaki kecilnya berhenti di balik lorong menuju lapangan basket indoor saat mendengar bunyi dentuman yang jelas bukan dari bola basket ke lantainya.
Benar ternyata dugaan nya.
“Bisa kerja gak sih lo ?!”
“Lihat gue di marahin sama Papi gue gara gara dapet 80 doang nilai matematikanya !!”
Havian mengintip karena dia kenal betul suaranya, itu tim basketnya.
Plakk
Bugh
Bugh
Bugh
Havian melihatnya, Hansa menlempar beberapa bola basket ke tubuh adiknya, menampar, dan meninjunya habis habisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alexandria Familly
HumorTujuh saudara yang bangkit bersama dari keterpurukan bersama sang pahlawan tanpa tanda jasanya. "Dad, I Love You." "Thankyou Daddy." "Sayang Daddy banyak banyak." "Daddy juga sayang kalian." "Jangan sedih sedih lagi ya, ada Daddy dan abang abang yan...
