Chapter 6

36 17 6
                                    

The Mirror Cave and the Mirror of Foresight

Pagi itu, langit berwarna biru pucat dengan sedikit awan yang berkumpul di ufuk. Udara dingin melingkupi rombongan kecil ini ketika mereka meninggalkan menara penyihir kuno. Udara pagi terasa menggigit, tetapi semangat mereka tidak tergoyahkan. Gua Cermin, lokasi artefak pertama, terletak di wilayah timur Ethelia-dan mereka tahu bahwa perjalanan ke sana tidak akan mudah.

Maximus berjalan di depan, lebih cepat dari biasanya. Dia tenggelam dalam pikirannya, namun sesekali menoleh ke arah Alexandra dan Alexander di belakangnya, memastikan mereka tetap bersama. Alexandra merasakan sesuatu yang berbeda dalam langkah Maximus, seolah-olah dia sedang dibebani pikiran. Namun, dia memilih untuk tidak bertanya. Semua orang punya cara sendiri dalam menghadapi rasa takut dan tanggung jawab.

"Apakah kau baik-baik saja, Maximus?" tanya Eleanor, yang entah dari mana tiba-tiba berjalan di samping Maximus. Suaranya lembut namun penuh perhatian. Tatapannya seolah ingin menyampaikan, "Kau tidak perlu memikul semuanya sendirian."

Maximus menoleh ke arahnya, terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab pelan, "Aku baik-baik saja. Hanya berpikir tentang apa yang akan kita hadapi nanti."

Alexander, yang mendengar percakapan mereka, berusaha mengalihkan perhatian dari ketegangan yang tampak jelas. "Setidaknya, kita tahu apa yang harus dihadapi di gua itu. Ilusi-ilusi yang hanya bisa dipecahkan oleh hati yang tulus, bukan?"

Alexandra menghela napas panjang, memikirkan kata-kata itu. "Ya, tapi mengetahui tantangannya bukan berarti segalanya jadi mudah," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri, sementara pikirannya berkecamuk.

Setelah berjam-jam berjalan menapaki jalan setapak yang sempit dan berliku, akhirnya mereka tiba di mulut Gua Cermin. Pintu masuknya tersembunyi di balik rimbunan pepohonan yang lebat, namun sinar matahari yang masuk dari sela-sela daun memantul dengan indah pada permukaan batu yang mengelilingi pintu gua. Batu itu mengkilap seperti cermin, memberikan isyarat bahwa mereka telah tiba di tempat yang tepat.

Alexandra mendekati pintu masuk gua dengan hati yang campur aduk. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Misi pertama mereka dimulai.

"Mari kita masuk," ujar Alexander seraya melangkah ke dalam, diikuti yang lainnya. Suasana dalam gua terasa dingin dan sunyi, hanya gema langkah kaki mereka yang terdengar memantul di dinding gua. Batu-batu di sekeliling mereka memantulkan bayangan samar, seolah-olah gua ini memang benar-benar terbuat dari cermin.

Saat mereka melangkah semakin dalam, ilusi pertama mulai muncul. Dinding gua tiba-tiba berubah seperti air, menciptakan bayangan diri mereka yang berbisik pelan. Bisikan itu terdengar semakin jelas, semakin menusuk, mengucapkan hal-hal yang tak ingin mereka dengar. Bayangan Alexandra berbicara, "Kau tidak akan pernah cukup kuat. Kau hanya beban."

Alexander, yang juga terguncang oleh bayangan dirinya sendiri, mendengar suaranya sendiri berkata, "Kau akan gagal, seperti biasanya." Suara-suara itu membuat fokus mereka terpecah, memaksa mereka menghadapi ketakutan terdalam yang bersembunyi di dalam hati.

Eleanor mencoba mengabaikan suara-suara itu, tetapi semakin dia melawan, semakin keras suara itu terdengar di telinganya. "Kau pengecut. Kau tidak bisa melindungi mereka." Hatinya terasa sesak, nyaris menyerah pada rasa takut yang mencekiknya.

Namun, Maximus tampak berbeda. Dia tidak tergoyahkan oleh ilusi tersebut. "Ingat," ucapnya dengan tenang, "Ini hanya ilusi. Mereka tidak nyata. Jangan biarkan mereka mengendalikan kalian."

Maximus menutup matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan mengulanginya sekali lagi, "Kita tahu ujian ini adalah tentang ketulusan hati. Jangan biarkan keraguan mengambil alih."

Kata-kata Maximus memberikan kekuatan bagi mereka. Alexandra merasakan tenang perlahan meresap dalam dirinya. Suara-suara itu mulai memudar, dan ilusi-ilusi menghilang satu per satu. Mereka terus berjalan, meskipun rasa takut belum sepenuhnya hilang. Setiap langkah membawa mereka semakin dekat ke inti gua, tempat di mana Cermin Pelihat Masa Depan disimpan.

Setelah perjalanan panjang melewati ilusi, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang memancarkan cahaya keperakan dari dinding-dindingnya. Di tengah ruangan, berdiri sebuah cermin raksasa, terbuat dari kristal bening yang memantulkan semua cahaya di dalam gua. Cermin itu berdiri dengan tenang, namun seolah-olah memanggil mereka untuk melihat ke dalamnya.

"Ini dia," bisik Alexandra, suaranya bercampur antara kekaguman dan ketakutan.

Maximus maju tanpa ragu. Dia berdiri di depan cermin, menatap dalam-dalam ke permukaannya yang jernih. Sesaat kemudian, cermin memancarkan cahaya yang lebih terang, dan bayangan dirinya mulai terlihat di dalam cermin. Namun, bayangan itu berbeda. Maximus yang tampak dalam cermin lebih tua, lebih bijaksana, dan lebih berani. Dia berada di medan pertempuran, memimpin pasukan dengan ketenangan yang luar biasa.

Maximus terdiam sejenak, merenungi apa yang dilihatnya. Dia menoleh kepada yang lain, memberikan senyum tipis. "Kita bisa melakukannya. Aku yakin akan hal itu," ucapnya, suaranya penuh dengan keyakinan yang baru.

Selanjutnya adalah Eleanor. Meskipun masih ragu, dia melangkah maju dengan dukungan dari Maximus. Cermin itu sekali lagi memancarkan cahaya, memantulkan bayangan dirinya di masa depan. Eleanor melihat dirinya berdiri di atas reruntuhan kota, namun dengan senyuman yang menenangkan di wajahnya. Senyuman penuh harapan, seolah memberitahu bahwa meski dalam kehancuran, masih ada sesuatu yang bisa diselamatkan.

"Kita tidak boleh menyerah, apa pun yang terjadi," ucap Eleanor, suaranya penuh dengan keteguhan.

Ketika giliran Alexandra dan Alexander tiba, mereka berdiri di depan cermin bersama-sama. Bayangan mereka di masa depan terlihat memimpin pasukan besar melawan kegelapan yang menyelimuti Ethelia. Mereka tampak lebih dewasa, lebih kuat, dan lebih bijaksana daripada sekarang.

"Semuanya akan baik-baik saja," bisik Alexandra pada dirinya sendiri, meskipun hatinya masih dipenuhi kegelisahan.

Setelah mereka semua melihat masa depan masing-masing, cermin itu mulai memudar, kembali ke keadaan semula. Namun, pesan yang dibawanya masih membekas dalam hati mereka. Cermin Pelihat Masa Depan telah memberikan petunjuk, namun mereka semua sadar bahwa masa depan yang mereka lihat bukanlah jaminan. Itu adalah potensi-sebuah kemungkinan yang harus diperjuangkan dengan keras.

"Kita telah melihat apa yang harus kita capai, tapi jalan masih panjang," kata Maximus pelan.

Namun sebelum mereka bisa mengambil cermin, ruangan tiba-tiba bergetar. Tanah di bawah kaki mereka mulai retak, dan suara gemuruh datang dari kedalaman gua. Alexandra segera melangkah mundur, mencoba menjaga keseimbangannya.

"Apa yang terjadi?" seru Eleanor, panik.

Sebuah portal gelap muncul di tengah ruangan, mengeluarkan energi misterius yang mulai menghisap cahaya di sekitarnya. Gemuruh semakin keras, dan tanah di bawah mereka mulai terangkat. Mereka tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ada kekuatan lain yang mencoba mengganggu misi mereka.

"Kita harus keluar dari sini!" teriak Alexander, mencoba melindungi Alexandra yang mulai terguncang.

Mereka bergegas melarikan diri dari ruangan itu, membawa Cermin Pelihat Masa Depan bersama mereka. Meskipun berhasil keluar dari gua, perasaan ganjil itu masih belum hilang. Sesuatu yang gelap telah bangkit-sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari apa yang mereka bayangkan.

Hai Hai....
Update lagiii, kayaknya hari ini aku mau double update, sebagai ucapan maaf aku karena lama update nya..
Tapi maaf banget klo nanti alur ch 6 sama 7 nanti aneh ya..
Okaiii

Salam hangat
💛💛💛
-nata☆

Woven Fates: A Tale of Magic and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang