The Trials of Earth and Wind
Setelah berhasil melewati ujian air dan api, kelompok itu bergerak lebih dalam ke wilayah Hutan Elemen. Suasana di sekitar mereka mulai berubah lagi. Udara yang tadi terasa panas sekarang berangsur-angsur menjadi lebih sejuk, namun ada rasa berat di udara, seolah tanah di bawah kaki mereka mulai bergerak dengan kehendaknya sendiri.
“Hati-hati, ini wilayah elemen tanah,” ujar Julian sambil melambatkan langkahnya. “Elemen tanah dikenal stabil, tetapi juga bisa menjadi kekuatan yang tak terduga.”
Di depan mereka, tanah mulai bergerak, membentuk bukit-bukit kecil yang bergerak perlahan, seolah sedang mengatur jalannya sendiri. Batu-batu besar tampak menyembul dari bawah tanah, membentuk jalur yang sulit diprediksi.
Alexander mengamati medan yang berubah di depan mereka. “Jadi, kita harus melewati semua ini tanpa jatuh ke dalam perangkapnya?”
Julian mengangguk. “Tanah itu keras dan stabil, tapi juga bisa menenggelamkan kita jika kita tidak berhati-hati. Kita harus merasa selaras dengan tanah ini. Jika kalian terlalu gegabah, tanah akan menelan kalian.”
Alexandra melangkah maju, menatap tanah yang bergerak dengan penuh kehati-hatian. “Kita harus bisa membaca pola pergerakannya,” katanya. “Tanah ini hidup.”
Maximus, yang selama ini banyak diam, menatap Alexandra dengan kagum. “Kau benar. Ini bukan soal kekuatan fisik. Kita harus bergerak seirama dengan tanah.”
Kelompok itu mulai berjalan perlahan, mengikuti irama pergerakan tanah. Kadang, mereka harus melompat dari satu batu ke batu lainnya, atau bergerak cepat sebelum celah-celah tanah menutup di bawah kaki mereka. Alexandra tetap waspada, matanya terus memperhatikan setiap perubahan kecil di tanah.
Ketika tiba di tengah-tengah wilayah elemen tanah, tiba-tiba sebuah guncangan besar terasa di bawah mereka. Tanah mulai bergetar dengan hebat, dan sebuah batu besar muncul di depan mereka, menghalangi jalan.
“Apa yang terjadi?” teriak Eleanor sambil mencoba menjaga keseimbangannya.
Tanah di sekitar mereka mulai runtuh, menciptakan lubang-lubang besar yang tampak seolah akan menelan mereka. Di tengah kekacauan itu, Alexander berusaha mencari jalan keluar. “Kita harus tetap bergerak! Jangan biarkan tanah ini menelan kita!”
Namun, semakin mereka bergerak, semakin sulit tanah itu mengizinkan mereka. Setiap langkah yang diambil, tanah seolah semakin memberontak. Alexandra menyadari sesuatu. “Ini bukan hanya ujian kekuatan,” gumamnya. “Ini tentang keyakinan.”
Dia menutup matanya, mencoba merasakan aliran energi di bawah kakinya. “Kita harus berhenti melawan tanah ini dan mulai bekerja sama dengannya.”
Julian memperhatikan Alexandra dengan rasa kagum. “Kau benar,” katanya. “Kita harus menyesuaikan diri dengan tanah ini, membiarkannya memandu kita.”
Dengan hati-hati, Alexandra mulai berjalan lagi, tapi kali ini dengan cara yang berbeda. Dia tidak mencoba melawan pergerakan tanah, tetapi mengikuti iramanya. Tanah di bawah kakinya yang tadinya bergetar sekarang mulai tenang.
Alexander memperhatikan langkah Alexandra, lalu menirunya. Ketika mereka semua mulai bergerak seirama dengan tanah, medan yang tadinya bergerak tak terkendali mulai stabil. Lubang-lubang di tanah tertutup, dan batu-batu besar yang tadinya menghalangi jalan mereka kini diam.
“Aku tidak percaya kita berhasil melakukannya,” kata Eleanor dengan nada lega. “Tanah ini benar-benar hidup.”
Ketika mereka berhasil melewati ujian tanah, Alexander menoleh ke arah Alexandra, matanya dipenuhi rasa kagum. “Kau luar biasa,” ucapnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woven Fates: A Tale of Magic and Love
FantasyDi tengah ancaman kegelapan yang menyelimuti dua kerajaan, putri muda Alexandra menemukan kekuatan sihir yang luar biasa dalam dirinya. Namun, kekuatan itu adalah pedang bermata dua-harapan bagi kerajaan atau awal kehancurannya. Bersama-sama dengan...