Chapter 8

29 16 2
                                    

The journey to the peak of the unnamed mountain

Matahari baru saja terbit ketika Alexandra dan kelompoknya bersiap untuk memulai perjalanan berikutnya. Setelah berhasil mendapatkan Cermin Pelihat Masa Depan, kini tujuan mereka selanjutnya adalah Tongkat Penyeimbang Kekuatan yang tersembunyi di Puncak Gunung Tanpa Nama. Tapi, seperti yang diketahui semua orang, perjalanan ke gunung tersebut bukanlah hal yang mudah-tidak ada peta yang dapat menunjukkan jalan yang jelas, dan badai yang tak terduga sering kali muncul di puncaknya.

"Kita perlu mencari jalan yang aman," kata Alexander dengan nada tegas. "Cuaca di gunung itu bisa berubah sewaktu-waktu."

Maximus, yang kali ini tampak lebih fokus dari sebelumnya, mengangguk setuju. "Aku sudah mendengar banyak cerita tentang Gunung Tanpa Nama. Kita harus berhati-hati."

Perjalanan dimulai dengan langkah pasti. Mereka melewati hutan yang mulai menipis, menuju ke kaki gunung yang tampak samar-samar dari kejauhan. Udara semakin dingin, dan kabut tebal mulai menyelimuti jalur yang mereka lalui. Alexandra mulai merasakan beban yang semakin berat, bukan hanya di pundaknya tetapi juga dalam hatinya. Tapi dia tetap tegar, menahan semua rasa khawatir yang bergejolak di dalam dirinya.

Namun, saat mereka melangkah semakin dalam ke wilayah gunung, mereka menyadari sesuatu. Jalur yang mereka tempuh tiba-tiba saja menghilang, tertutup kabut yang sangat tebal. Semua petunjuk arah hilang.

"Kita... tersesat?" Eleanor bertanya dengan ragu, suaranya terdengar di antara kepanikan kecil dalam hatinya.

Alexander menoleh ke sekeliling dengan cemas. "Sepertinya begitu."

Mereka berhenti di tengah hutan kecil di kaki gunung, kebingungan tentang jalan mana yang harus mereka ambil. Saat itulah suara langkah kaki terdengar mendekat. Awalnya samar, tapi semakin jelas.

"Siapa di sana?" Maximus langsung mengambil sikap waspada, tangannya sudah berada di gagang pedang.

Dari balik kabut, muncul sosok seorang pria muda dengan senyum tipis di wajahnya. Dia mengenakan jubah cokelat lusuh, tapi matanya yang berwarna hijau cerah memancarkan ketenangan.

"Tenang saja, aku bukan musuh," ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan bahwa dia tidak berniat buruk. "Nama aku Julian. Julian Finch Idris."

Alexandra menatap pria itu dengan penuh curiga. "Bagaimana kau bisa berada di sini?"

Julian tertawa pelan. "Aku sudah lama tinggal di sekitar sini. Gunung Tanpa Nama memang tidak mudah untuk ditemukan jalannya, apalagi bagi orang luar. Tapi aku bisa membantu kalian."

Maximus tetap waspada, tapi Eleanor menatap Julian dengan rasa ingin tahu. "Bagaimana kau bisa tahu tentang gunung ini?"

"Aku tahu banyak hal tentang tempat ini," jawab Julian sambil tersenyum, "dan aku yakin kalian butuh panduan untuk sampai ke puncaknya."

"Dan kenapa kami harus percaya padamu?" Alexander bertanya dengan nada skeptis.

Julian tidak terganggu oleh nada Alexander. "Kalian tidak punya pilihan lain, bukan? Aku tahu jalan ke puncak, dan aku bisa membawa kalian ke sana dengan selamat."

Alexandra dan Alexander bertukar pandang. Mereka ragu, tetapi pada saat yang sama, tidak ada pilihan lain yang lebih baik.

"Baiklah," kata Alexandra akhirnya, "kami akan menerima bantuanmu. Tapi ingat, kami tetap waspada."

Julian tersenyum lebar. "Percayalah, aku di sini untuk membantu."

Dengan Julian sebagai pemandu, kelompok itu melanjutkan perjalanan mereka. Jalur yang sebelumnya tak terlihat, kini menjadi lebih jelas dengan bantuan Julian. Meskipun tampak misterius, pria itu menunjukkan pengetahuan mendalam tentang wilayah tersebut. Dia tahu di mana tempat-tempat yang berbahaya, dan di mana mereka bisa beristirahat dengan aman.

Woven Fates: A Tale of Magic and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang