The Mirror of Foresight
Setelah kejadian di Gua Cermin, suasana di dalam semakin mencekam. Gema suara mereka mulai hilang, digantikan oleh bisikan-bisikan samar yang memantul di sepanjang dinding kristal gua. Langkah mereka menjadi lebih hati-hati. Setiap detik, mereka merasakan ketegangan meningkat.
Alexandra menatap ke sekeliling, cahaya biru samar dari gua menyelimuti mereka. Gua itu tampaknya tak berujung, seolah terus memimpin mereka lebih dalam, jauh ke dalam bayang-bayang masa depan yang penuh misteri. Alexander, yang selalu berdiri teguh di sisinya, memberikan tatapan yang menenangkan. "Kita semakin dekat," katanya pelan, namun dengan nada yang penuh keyakinan.
"Ya, tapi jangan biarkan kita lengah," tambah Eleanor, matanya terus berjaga-jaga seolah-olah ilusi berikutnya bisa muncul kapan saja.
Maximus, yang berada di belakang rombongan, menjaga langkahnya tetap kokoh. Meskipun tidak ada kata yang terucap, mereka semua tahu bahwa Maximus juga merasa tegang. "Kita tidak bisa mundur sekarang," pikirnya. "Aku harus memastikan semuanya berjalan dengan baik."
Setelah beberapa waktu berjalan dalam keheningan, dinding gua tiba-tiba terbuka ke sebuah ruangan besar yang terbuat dari kristal. Di tengahnya, tampak sebuah cermin besar yang memancarkan cahaya lemah. Alexandra dan yang lainnya langsung tahu bahwa ini adalah Cermin Pelihat Masa Depan.
Mereka mendekat dengan hati-hati, cahaya dari cermin itu memantul ke wajah mereka, seolah-olah ingin memperlihatkan sesuatu. Namun, tak ada yang terjadi. Cermin itu tetap diam.
Eleanor yang pertama kali berbicara, "Apa yang harus kita lakukan? Apakah kita hanya harus berdiri di sini?"
Alexander melangkah maju, matanya tertuju pada cermin tersebut. "Cermin ini tidak akan menunjukkan apa pun jika hati kita tidak tulus. Ini bukan soal kekuatan atau keberanian. Ini soal kebenaran yang kita pegang dalam hati."
Alexandra mengangguk pelan. "Kita harus bersiap untuk apa yang akan kita lihat."
Mereka satu per satu berdiri di depan cermin, berharap masa depan yang tampak memberikan mereka petunjuk. Maximus yang pertama kali maju. Ia berdiri di depan cermin dengan tatapan teguh. Cahaya dari cermin semakin terang, dan sesaat kemudian, cermin memperlihatkan gambaran dirinya-lebih tua, lebih dewasa, berada di medan pertempuran besar, memimpin pasukan besar dengan kekuatan yang luar biasa.
Maximus melihat gambaran itu tanpa ekspresi, tetapi dalam hatinya, ia tahu apa yang disampaikan oleh cermin itu. "Aku harus siap menghadapi apa pun, dan menjaga mereka yang penting bagiku."
Eleanor yang kedua melangkah maju, meski ada sedikit keraguan di dalam dirinya. Cermin itu kemudian memancarkan bayangan dirinya, berdiri sendirian di sebuah kota yang hancur, namun ada cahaya lembut yang muncul di balik kehancuran tersebut. Dia tersenyum kecil saat melihatnya. Itu adalah perasaan harapan. Harapan yang tidak pernah padam meski keadaan tampak putus asa.
"Selama kita bersama, kita bisa mengatasi apa pun," pikir Eleanor dalam hati.
Alexander kemudian mendekat ke cermin bersama Alexandra. Keduanya berdiri berdampingan, seolah-olah sudah dipersiapkan untuk menghadapi apa yang akan datang. Cermin memperlihatkan mereka, lebih tua, lebih kuat, memimpin dunia melawan kegelapan. Bayangan mereka tampak begitu berwibawa, tapi ada perasaan tanggung jawab yang berat di balik kemenangan tersebut.
"Apakah kita siap untuk ini?" tanya Alexandra, setengah kepada dirinya sendiri.
"Kita harus siap," jawab Alexander tegas.
Namun, sebelum mereka bisa merenungkan lebih jauh gambaran dari cermin, sebuah suara menggelegar menggema di seluruh ruangan. Dinding kristal mulai bergetar, dan retakan mulai muncul di sekitar mereka.
"Ini jebakan!" seru Eleanor, menarik pedangnya sambil melihat sekeliling.
Maximus segera bersiap, pedangnya terhunus, "Apa yang terjadi?"
Dari retakan-retakan itu, sosok-sosok hitam yang berbentuk kabut mulai muncul, perlahan-lahan membentuk makhluk-makhluk bayangan yang menakutkan. Mereka mengelilingi cermin, seolah siap menyerang siapa pun yang mendekatinya.
"Kita harus melindungi cermin ini!" seru Alexandra.
Pertarungan pun dimulai. Alexander dan Maximus berjuang di depan, melawan makhluk-makhluk bayangan yang mencoba mendekati cermin. Eleanor dan Alexandra saling menjaga punggung mereka, memastikan tidak ada satu pun dari bayangan itu yang berhasil melewati.
"Aku belum pernah melihat sesuatu seperti ini," ujar Eleanor dengan napas terengah-engah sambil menebas salah satu makhluk bayangan.
"Mereka adalah ilusi dari kegelapan, tercipta dari ketakutan kita," jawab Alexander sambil memukul mundur beberapa makhluk.
Namun, semakin mereka melawan, semakin banyak bayangan yang muncul. Maximus tahu bahwa mereka tidak bisa bertarung selamanya. Dia berlari ke arah cermin, mencoba menemukan cara untuk mengakhiri serangan ini.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Maximus, mencoba berpikir cepat.
Alexandra menoleh ke arah Maximus, mata mereka bertemu sejenak. "Ini tentang ketulusan hati, kan? Mungkin... kita harus membiarkan cermin menunjukkan apa yang sebenarnya."
"Bagaimana caranya?" tanya Alexander, menebas salah satu makhluk yang mendekat.
"Lepaskan semua keraguan," jawab Alexandra. "Kita harus menerima masa depan apa adanya, baik atau buruk."
Maximus mengangguk. Dia berdiri di depan cermin lagi, kali ini tanpa perlawanan. Dia menatap bayangannya sendiri di dalam cermin, menerima segala yang diperlihatkan. Perlahan-lahan, bayangan-bayangan itu mulai memudar. Alexander, Eleanor, dan Alexandra mengikuti jejak Maximus, berdiri bersama-sama di depan cermin, melepaskan semua ketakutan dan keraguan yang mereka miliki.
Dan seperti sihir, bayangan-bayangan itu lenyap, diikuti dengan suara gemuruh yang semakin lama semakin pelan hingga akhirnya hilang.
Mereka semua terdiam, napas mereka masih berat setelah pertarungan itu. Alexandra menatap cermin sekali lagi, dan kali ini cermin itu memancarkan cahaya yang lebih terang dari sebelumnya.
"Kita berhasil," ujar Alexandra pelan, matanya masih tertuju pada cermin.
Maximus mengambil napas dalam-dalam. "Satu artefak telah kita temukan."
Namun, saat mereka bersiap untuk membawa cermin itu keluar dari gua, Alexander berhenti sejenak dan menatap pintu gua yang gelap. "Ini baru awal. Kita harus segera menuju Tongkat Penyeimbang Kekuatan di Gunung Tanpa Nama. Waktu kita tidak banyak."
Mereka pun bersiap meninggalkan gua dengan cermin di tangan, menyadari bahwa misi mereka masih panjang, dan tantangan yang lebih besar menunggu di depan.
End
Have fun🩷Salam hangat
-nata☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Woven Fates: A Tale of Magic and Love
FantasiDi tengah ancaman kegelapan yang menyelimuti dua kerajaan, putri muda Alexandra menemukan kekuatan sihir yang luar biasa dalam dirinya. Namun, kekuatan itu adalah pedang bermata dua-harapan bagi kerajaan atau awal kehancurannya. Bersama-sama dengan...