PART 9

441 78 2
                                    

"Om, gambar atau angka? Yang kalah gocap."

Fandy menghela napas. Tidak ada kerjaan sekali anak ini, segala macam dia jadikan taruhan. Dari semalam sudah berapa kali Fandy kehilangan uang lima puluh ribunya. Harvi selalu beruntung, dia selalu memenangkan pertaruhan yang dia buat sendiri, dan bodohnya Fandy selalu nurut mengikuti.

"Angka," sahut Fandy.

Harvi mengangkat punggungnya yang menempel pada sandaran sofa lalu melemparkan koin yang dia dapat secara tidak sengaja dari kantong celananya; entah bekas kembalian beli apa, koin itu nyempil di kantong celana.

"Gambar."

Senyum Harvi mengembang lebar.

Fandy merogoh dompet dan mengambil uang lima puluh ribu. Harvi melihat kanan-kiri, memastikan kalau Mey yang sedang berada di kamarnya tidak keluar secara tiba-tiba.

"Makasih," ucap Harvi dengan kekehan senang sembari mengambil uang itu, memasukan ke dalam kantong celananya dengan cepat.

"Lagi, gak?" tawar Harvi.

Fandy menggeleng. "Kamu menang terus, habis uang saya," katanya.

Harvi tidak ingin memaksa, dia menarik sudut bibir kemudian menyandarkan kembali punggungnya pada sandaran sofa yang empuk.

Benar-benar berbeda dengan Jevi dan Mey, hingga kini Fandy masih mempertanyakan asal muasal kelakuan anak itu.

"Harvi!!! Keponakan kesayangannya Om!!! Om bawain cemilan kesukaan kamu nih."

Harvi hanya melirik sekilas kemudian mendelik.

"Pasti Mey udah transfer," monolognya dengan suara pelan.

"Vi, sini, gue beliin banyak granola yang merk kesukaan lo, terus serealnya gue beli beberapa kotak."

"Beli apa, Gas?"

Mey baru keluar dari kamar, sudah mandi dan rambutnya yang tadi basah baru selesai dikeringkan.

"Cemilan Harvi," sahut Bagas.

"Banyak banget."

"Anak lo itu suka ngemil ginian sambil nonton TV, Mey. Sekotak sereal gini, bisa abis dalam waktu semalem digadoin. Ngomong-ngomong, Mey, kapan lo ambil jadwal kerjaan lagi? Rumah gue ternyata sepi kalo gak ada anak lo. Anak gue udah gadis, jadi jarang keluar kamar, mana nurun ibunya lagi, diem, gak banyak omong."

Fandy melirik. Sekarang dia tahu dari mana Harvi mengambil contoh sikap. Sekuat-kuatnya sifat yang diambil dari gen, kelakuan orang-orang di lingkungan tetap memegang andil nomor satu.

"Vi, malem ini nginep di rumah gue, yuk," ajak Bagas.

Harvi mendecih, melirik ke arah meja makan. "Biasanya juga kalo weekend lo suruh-suruh gue maen, Om, biar lo bisa berduaan aja sama Kak Ayu di rumah. Om Bagas tuh gitu, Mey, aku lagi sakit aja disuruh-suruh maen, katanya ganggu kalo di rumah."

"Hehh, kapan gue kayak gitu? Ngada-ngada Harvi. Anak lo suka nempel-nempel bini gue, Mey, jadi kadang gue cemburu," jelas Bagas.

Mey tidak menanggapi, dia membuka kantong berisi granola lalu memakannya dengan tenang. Sudah biasa menghadapi bagaimana hubungan antara adik dan putranya, yang saling sayang, tapi seperti Tom and Jerry.

"Oh, ya, gue bawain itu, bentar."

Bagas berucap tidak tuntas, tiba-tiba melangkah menuju pintu keluar. Tapi tak lama masuk kembali membawa sebuah kotak besar, tote bag, juga tabung oksigen kecil. Penuh sekali kedua tangan Bagas.

Bagas meletakan tabung oksigen kecil itu di bawah, sedangkan kotak besar dan tote bag ditaruh di atas meja.

"Anak lo kalo banyak tingkah di sekolah, baliknya atau malemnya pasti ngeluh sesek napas," ungkap Bagas.

BoTuDiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang