PART 3

294 60 0
                                    

Kebiasaan Harvi saat bangun tidur adalah menggeliat--meregangkan tangan ke atas dulu, baru membuka mata.

Saat hendak mengangkat tangannya, sebuah tangan sigap menahan tangan kiri Harvi.

Harvi membuka mata.

Tangannya yang tersambung dengan infus ditahan oleh Bagas.

Bola matanya menoleh ke bawah, tempat masker oksigen menghias separuh bagian wajahnya.

Kemudian Harvi menarik kembali tangannya sembari menarik naik kedua sudut bibirnya perlahan.

Dia baru ingat dengan kejadian sebelumnya.

Harvi tidak mati, tapi sekarang Bagas tengah memandangnya dengan tatapan kematian.

Di dalam masker oksigen itu Harvi terkekeh kikuk.

Perlahan dia acungkan dua jarinya.

"Damai, Om, gue bisa sejalin, eh... jelasin maksudnya. Jangan natap kek gitu, Om, gue sampe jadi salah ngomong."

Harvi melepas masker oksigennya secara mandiri karena tidak nyaman berbicara dengan alat itu yang menghalangi.

"Udah ada kemajuan lo, Vi. Gak cuma nontonin orang ribut, sekarang ikutan ribut juga. Bagus banget kelakuan lo."

"Om, gue lagi sakit."

"Lo bikin sendiri sakitnya!"

Bagas tidak tahan untuk tidak menyentak, jadi dia keluarkan sedikit nada sentakannya.

Bagas geleng-geleng kepala sembari mengalihkan pandang kemudian mengembuskan napas panjang dengan jengkel.

Dia sudah tidak paham lagi dengan jalan pikiran keponakannya yang masih saja seperti anak-anak.

Harvi diam, melipat bibirnya.

"Maaf, Om, gue salah," cicitnya, pelan.

"Gak akan berguna pengakuan lo. Kalo udah ngelakuin sekali, besoknya juga lo lakuin lagi."

Hapal sekali Bagas dengan kelakuan Harvi.

"Dua hari berturut-turut, ya, Vi, lo bikin gue ninggalin kantor gitu aja. Parahnya kemaren, gue sampe gak izin dulu sama Bos saking paniknya. Awas aja lo besok-besok bikin masalah lagi. Yang punya perusahaan bukan gue, Vi, gak lucu banget kalo gue dipecat pas gue lagi butuh-butuhnya nabung buat anak ke-dua gue tar."

Harvi sedikit menunduk, dia teringat Ayu--istrinya Bagas yang sedang mengandung anak ke-dua mereka. Harvi jadi merasa bersalah saat mengingat wajah Ayu yang selalu tersenyum setiap kali berinteraksi dengannya.

Harvi menarik napas agak dalam.

Keningnya mengernyit.

"Gue gak sesek, tapi kok, dada gue sakit ya, Om, pas narik napas dalem," katanya sembari melirik Bagas.

Niatnya menarik napas dalam untuk ancang-ancang membuang napas panjang, tapi ternyata ada sensasi lain yang terasa.

Garis keras wajah Bagas melunak.

"Mungkin tulang dada lo ada yang retak akibat tindakan RJP dari temen-temen lo kemaren, nanti gue bilang ke dokter."

"RJP? Temen-temen gue? Emang mereka bisa?... Woah, untung aja gak patah semua tulang rusuk gue."

"Makasih lo, Vi, sama mereka. Kalo gak ada pertolongan pertama, mungkin lo udah mati."

Mm... iya, juga. Harvi masih mengingat dengan jelas rasanya, sensasi dihampiri kematian di hari kemarin itu.

-

Setelah terbangun dari tidur siangnya pada sore hari, Harvi jadi mengharapkan kedatangan Mey.

Matanya melirik-lirik Bagas yang sedang menonton televisi di sofa.

BoTuDiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang