PART 12

184 46 3
                                    

Bagas sampai beberapa waktu yang lalu di rumah Fandy dengan wajah yang merah padam. Dia membawa obat-obatan dan peralatan terapi oksigen yang Harvi butuhkan.

Untung saja kambuhnya Harvi masih dalam kategori ringan, jadi bisa ditangani oleh Bagas, tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Meskipun harusnya setelah diberi pertolongan pertama, Harvi tetap pergi ke dokter untuk melakukan pemeriksaan. Tapi situasinya sedang begini, setidaknya sekarang anak itu sudah tenang dan tertidur lelap.

-

Di luar kamar, Mey dan Bagas sedang berbicara empat mata.

Fandy menemani Harvi di dalam kamar sembari sibuk dengan ponselnya. Beberapa kontrak pekerjaan jadi kacau akibat berita yang tiba-tiba muncul itu. Entah penguntit mana yang berhasil mendapatkan potret Harvi dan Mey yang melangkah beriringan keluar dari rumah sakit tempo hari. Walaupun wajah Mey tidak terlihat--tertutup masker dan rambutnya tertutup kupluk jaket, tapi rupa Harvi yang persis Jevi menjadi kecurigaan untuk penguntit itu, apalagi di sana juga ada Fandy. Kemungkinan si penguntit mulai membututi mereka sejak saat itu.

Setelah beberapa lama menguntit, dia akhirnya mendapatkan beberapa foto Harvi yang diambil secara diam-diam saat di rumah dan di depan gerbang sekolah--keluar dari mobil Fandy, juga foto Mey yang bergegas pergi kerja dari rumahnya bersama Fandy.

Rumah Bagas juga turut menjadi sorotan, keluar di berita dengan judul:

Dua puluh tahun Meydi Zaretha menyembunyikan putranya dengan alm. Jevi, di rumah ini.

Inilah sosok pria yang diperkirakan adik Meydi Zaretha, seorang staff kantor di salah satu perusahaan swasta.

Keberhasilan Meydi Zaretha menyembunyikan putranya dengan mendiang Jevi Aruan di rumah saudara kandung. Tetangga komplek tidak ada yang tahu.

Fandy memijit pelipis. Apa pentingnya untuk mereka kehidupan orang lain.

.

Sementara di luar kamar, tepatnya di lokasi ruang tamu, Mey duduk di sofa bersama dengan Bagas yang tengah berdiri sembari berkacak pinggang, wajahnya sudah tak se-merah padam seperti saat sampai tadi, tetapi raut wajah itu masih tampak menunjukan kemarahan.

"Kenapa orang-orang sampe tahu tentang Harvi sih, Mey?"

Tadinya Bagas sudah siap untuk melontarkan segala makian kasar kepada Mey; dia menyalahkan kekacauan tidak terduga ini kepada kakaknya. Namun, begitu melihat Mey, perlahan emosi Bagas mereda karena kakaknya itu terlihat lebih kacau dengan air mata yang terus mengalir.

"Dari dulu lo gak paham, Gas, sama resiko kerjaan gue. Lo nyuruh gue buat sering-sering balik, temuin Harvi. Tanpa lo suruh pun gue mau tiap hari ketemu Harvi. Lo pikir apa alasan gue gila kerja selama ini? Gue cuma mau cepet-cepet bisa bawa Harvi pergi jauh dari negara ini, biar bisa tiap waktu sama dia tanpa harus takut sama orang yang bakalan liat dan kenal. Akhir-akhir ini gue terlalu terlena nikmatin waktu bareng Harvi, gue sampe mikir mungkin ketakutan gue selama ini itu terlalu berlebihan. Tapi ternyata nggak. Waktu-waktu bareng Harvi kemaren yang gue nikmatin, akhirnya bawa gue ke kejadian di hari ini."

Mey bertutur dengan kepala tertunduk dan air mata yang terjatuh ke atas karpet permadani.

"Argh, Bangsat!"

Bagas menendang meja yang ada di tengah-tengah sofa.

"Anjing tuh orang! Apa gunanya nyebar berita kehidupan orang laen!"

Mey melipat bibirnya rapat, menunduk dalam.

"Gue gak masalah sama apa pun yang mereka bilang tentang elo! Tapi buat orang yang ngeluarin kata-kata keterlaluan ke Harvi. Sumpah, gue bakalan cari itu orang, jangan harap dia masih bisa idup baik-baik aja!" murka Bagas.

BoTuDiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang