Harvi turun dari mobil yang dikendarai Fandy, berbarengan dengan Acil yang keluar dari angkutan umum.
"Bang Harvi!" Acil berteriak memanggil setelah membayar ongkosnya.
"Gak pernah bawa motor sekarang, Bang? Dari kemaren grab mulu," tanya si anak kecil itu. Dia berjalan berdampingan dengan Harvi kayak adek kakak yang beda usia 10 tahun.
"Gak dibolehin sama nyokap, takut jantung gue kumat di jalan. Lo sendiri, mana motor lo, Cil?" Harvi balik bertanya. Acil tidak terlihat berangkat dengan motor beat birunya.
"Dipake abang gue, motor dia mogok. Terpaksa lah gue ngalah."
Acil mengakhiri ucapannya dengan bibir yang manyun. Setengah hati sepertinya dia memberi pinjam motornya kepada Sang Abang.
Harvi tertawa. "Emang paling bener anak kecil gak usah dikasih bawa motor," katanya.
Membuat teman kecilnya itu mendengkus samar. Kalau saja bukan Harvi yang berucap, Acil pasti sudah berteriak: "Gue udah kelas 3 SMA!"
"Eh, Bang, nyokap lo balik?"
Acil melupakan kekesalannya saat teringat pada sahutan Harvi beberapa detik yang lalu. Ada kata 'nyokap' dalam kalimatnya.
Harvi melirik Acil sambil terus berjalan.
Oh, ya, dia hampir lupa dengan pengakuan palsunya. Harvi waktu itu iseng bilang kalau orang tuanya adalah TKI, ibunya di Arab Saudi dan ayahnya di Hongkong. Bercanda saja Harvi sebenarnya, soalnya bocah-bocah itu pada penasaran sekali dengan pekerjaan orang tuanya. Tapi ternyata mereka semua langsung percaya dan merespons dengan raut wajah kompak, yang seolah menyerukan: 'hoo, pantas saja'.
Harvi mengangguk. "Iya, balik buat sementara," sahutnya.
"Bokap lo balik juga?" Acil bertanya lagi.
Harvi menggeleng. "Nggak, nyokap gue doang."
"Oohh." Acil mengangguk-angguk, tampak akan melontarkan tanya lagi.
"Togar!"
Harvi berteriak memanggil sosok yang dari belakang saja sudah bisa dikenali. Untung saja ada Togar, pandang Acil jadi teralih kepada temannya itu.
-
"Mujur banget hari ini nasib lo, Ji. Sekali lagi lah, duit gue sisa cepe, gue keluarin semua."
"Ah, gue mah udahan."
Mono mundur dari lingkaran setan itu.
Tersisa enam orang, Harvi, Acil, Togar, dan tiga kawan dari kelas lain. Mereka bermain kartu di kelas Harvi, di pojokan belakang.
Baru saja Mono akan membuka mulut untuk memberitahu, langkah guru yang memasuki kelasnya terlalu lebar, sehingga gerakan mulut Mono terdahului.
"KE-RU-ANG-GU-RU!"
Setiap suku kata yang dieja diucap dengan nada suara yang nyaring dan penuh penekanan. Guru pria itu berbalik, melangkah kembali ke arah pintu.
Keenam orang yang masih ada di lingkaran setan menghela napas.
"Titipin duitnya ke Mono," titah Harvi.
Mereka semua menurut, menitipkan uang hasil kemenangan kepada Mono yang untungnya dia undur diri sebelum kena cyduk, jadi mereka tidak semua tertangkap, itu bagus karena ada yang bisa dijadikan penitipan uang haram agar tidak kena rampas.
-
"Pak, gak bisa saya, Pak. Kemaren maen bola dikit aja balik-balik saya sakit, gak masuk sampe mau sebulan. Ada masalah sama jantung, kan, saya, Pak," jujur Harvi. Dia tidak bermaksud kabur dari konsekuensi dan meninggalkan temannya, hanya saja Harvi meminta hukuman yang berbeda, jangan lari keliling lapangan dua puluh putaran seperti yang sudah diperintahkan. Boro-boro dua puluh putaran, satu putaran saja tidak yakin dia selesai dalam kondisi hidup.

KAMU SEDANG MEMBACA
BoTuDi
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Ini cerita tentang Harvey Parker, si Bocah Tua penjuDi yang jantungan. Tapi dia hoki, makanya dilambangkan dengan ikan mas oranye yang menurut Feng Shui membawa Energi positif, Keberuntungan, dan Kekayaan. Ya...