PART 6

242 54 0
                                    

"Wihh, hampir mau sebulan lo gak masuk, Bang."

Harvi bersalaman singkat dengan Mono, Togar, dan Acil yang menyambutnya dengan senyuman lebar.

Lalu Harvi duduk di bangkunya dengan tangan masuk ke dalam kantong jaket dan kupluk jaket menutupi kepala.

"Merah putih ngajakin tanding lagi, Bang," lapor Togar.

"Lo pada atur-atur aja deh, gue gak akan ikutan," sahut Harvi.

"Gak akan nonton?" tanya Acil.

Harvi menggeleng. "Tar kebawa suasana lagi, berabe," katanya.

Tangannya masuk ke dalam kantong jaket guna menghalau dingin di musim penghujan ini. Tapi nyatanya tetap dingin, menyesal sekolah, mending di rumah bisa tidur nyaman dan hangat dibalut selimut.

"Lagian, lagi musim ujan, mau becek-becekan lo pada?"

Mono mengangguk kuat. "Lebih seru, Bang," serunya, bersemangat.

Harvi hanya melirik. Semangat jiwa muda memang seperti itu, dia pun pernah mengalaminya. Hanya saja sayangnya di saat sedang membara-baranya waktu itu dia harus jatuh sakit.

-

Selama di sekolah, Harvi tidak banyak beraktifitas. Tidak ada se-peser pun uangnya yang keluar untuk taruhan hari ini.

Seorang Harvi bernapas tanpa diselingi taruhan, itu dalah hal yang 'tumben', karena setiap harinya minimal pasti ada satu kejadian yang dia buat jadi bahan taruhan, atau yang paling minimal: diam-diam main kartu, dengan uang taruhan yang dikeluarkan dari kantong Harvi yang paling besar nominalnya.

Teman-temannya merindukan pertaruhan yang Harvi buat, tapi tidak berniat mengganggu ketenangan Harvi yang baru menginjak sekolah lagi setelah sekian lama. Mereka biarkan ketua mereka beristirahat dari segala rutinitas di sekolah hari ini.

Pulang sekolah, Harvi dijemput oleh Fandy. Tadi juga berangkat dianter sama Fandy. Jadwal kosong Mey dimulai dari hari kemarin untuk dua minggu ke depan. Mey memberikan alibi: ingin beristirahat kepada pihak yang mengajaknya bekerja sama dan dia tolak.

Harvi berlari dari lobi sekolah sampai gerbang, menerobos gerimis.

Dia masuk ke dalam mobil dan langsung menyambar sebotol air yang tergeletak di atas dashboard.

Napasnya pendek karena detak jantungnya yang jadi cepat akibat berlari dengan kecepatan dan jarak yang tidak seberapa itu.

Harvi mengambil obat untuk menetralkan detak jantungnya dari dalam tas--selalu dia bawa, kemudian meminumnya.

"Bukannya tadi pagi dikasih payung sama Mey?" tanya Fandy.

Mobil dilajukan dengan pelan.

Harvi membuka jaketnya dan menyampirkan di badan kursi tempat dia duduk.

"Motifnya bunga-bunga, geli banget pakenya."

"Daripada lari-larian, Mey marah kalo tahu."

Harvi memandang ke arah depan sembari menyandarkan kepala pada sandaran jok.

Dia tidak menyahut Fandy, tangannya memegang tempat jantungnya berada. Perlahan detak organ itu mulai normal.

-

Tanpa ucapan terimakasih, Harvi turun dari mobil dan memasuki rumah; rumahnya, bukan rumah Bagas.

"MEYYY."

Dia memanggil nyaring sembari membuka pintu.

Pemuda 20 tahun itu tersenyum saat mendapati sang ibu yang tengah duduk di sofa. Dia kemudian menghampiri, melempar tasnya asal ke salah satu sofa lalu perlahan membaringkan diri di sofa tempat Mey duduk. Harvi menjadikan paha Mey sebagai bantalnya.

BoTuDiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang