lelaki manis, namun tidak dengan kehidupannya. penuh dengan banyak tantangan tak membuat Arlangga putus asa. saudara yang seolah menjadikan dirinya saingan tidak membuat Arlan goyah untuk terus menjalani semuanya. ditemani pula oleh beberapa teman-t...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Walau hanya diam tapi orang jika sudah iri ia akan selalu menyebut diri kita sebagai saingannya" ─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
Langkah demi langkah Arlan lalui. Ia berlari menuju mading sekolah. Terdapat banyak siswa yang berkumpul demi membaca satu persatu surat, quote, berita dan lain sebagainya. Ada yang terbaru dan sangat memancing beberapa kalangan pula termasuk Arlan sendiri.
Arlan melihat ke arah mading dan membacanya. Pria itu mengerutkan keningnya tak paham jika namanya dibawa-bawa. Nama Arlan terpampang jelas jika ia melakukan hate komen pada salah satu siswa di sana. Arlan tidak merasa bahwa dirinyan menuliskan ujaran kebencian itu, maka dari itu ia mengelak. Namun, banyak orang yang tidak percaya akan elakan dirinya itu.
"Buat apa gue ngasih ujaran kebencian gitu? gak guna," jelas Arlan ketika di desak oleh beberapa siswa.
"Alah bilang karena lo kurang terkenal makanya lo iri sama Rayyan."
"Ngapain anjir iri sama Rayyan. Rayyan temen gue, gak akan gue ngasih hate komen. Kalau gue gak suka sama Rayyan pasti bakal bilang langsung ngapain pakai menfes segala. Gak gentle," terang Arlan tapi tidak didengar oleh yang lainnya.
"Karena lo gak banyak temen makanya iri. Rayyan mah anak orang kaya, pinter, banyak temennya gak kayak lo."
"Cih terserah, kalau ke bukti bukan gue yang ngasih menfes itu gue tandai lo semua satu persatu," ucap Arlan yang mengakhiri debat dengan murid-murid di sana.
Arlan pergi ke rooftof sekolah. Ia duduk menikmati pemandangan sekolah dari atas. Cuaca yang sedikit mendung ditambah dengan angin yang berhembus membuat suasana nyaman di sana. Arlan memejamkan matanya sejenak menikmati sensasi angin yang menerpa wajahnya. Namun, matanya kembali terbuka ketika mendengar langkah kaki seseorang yang berjalan ke arahnya.
"Arlan," panggilnya.
Pemuda yang disebut namanya pun menoleh ke sumber suara. Mahen, entah apa yang membuat Mahen kemari yang sejatinya seorang Mahen tidak pernah ke rooftof sekolah. Mahen mendekat ke arah Arlan sembari memegang pundak sang empu.
"Arlan, gue tahu kalau lo lagi kacau tapi coba ingat apa yang membuat lo bahagia. Tingkatkan kebahagiaan itu," tutur Mahen kepada sahabatnya itu.
"Hen, kebahagiaan itu sangat tipis bagi gue. Lo tahu sendiri kan kalau gue gak pernah akur di keluarga gue, gak pernah tenteram apalagi Randy. Lalu dimana letak bahagianya jika keluarga saja berantakan," jelas Arlan dengan raut sendu.