Bab 3- Diary Arlan

22 8 4
                                    

Hai, jangan lupa dukung author dengan vote dan komen ya. Ramaikan komentarnya dong. Happy reading!

 Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

|•|

"Semua berisik, pikiranku juga berisik, tapi aku bukan orang yang lemah"
-Arlangga

Pandangan kini masih sedikit memburam. Ia mengerjakan matanya dan berusaha untuk bangun. Matanya sedikit sulit untuk terbuka karena terlalu banyak menangis. Arlan melihat ke arah jam dinding yang ada di kamarnya yang menunjukkan pukul 19.20 dan pemuda itu bergegas untuk mengganti bajunya karena ia tidak sempat mengganti bajunya tadi.

Arlan menatap pantulan dirinya sendiri di cermin kamar mandi. Mata yang sedikit bengkak dengan rambut yang acak-acakan itu. Arlan meringis karena kepalanya yang sedikit sakit. Namun, ia tidak peduli dan langsung melanjutkan rutinitas mandinya.

Malam yang terlihat cerah dengan bulan purnamanya menghiasi cakrawala membuat suasana menjadi tentram. Setelah membersihkan diri, Arlan memutuskan untuk memainkan gitarnya di balkon kamarnya. Petikan gitar yang indah dan alunan itu membuat hati berisik ingin bernyanyi.

"Gue, kangen Bunda, kangen Ayah." Arlan melihat ke langit-langit malam tepatnya ke ribuan bintang di sana.

"Mereka salah satu antara bintang itu. Bunda, apakah engkau yang paling terang di antara mereka?"

Tangan itu lalu menuliskan sebuah kata-kata di dalam buku diary miliknya. Di sinilah semua keluh kesahnya tertulis indah nan teratur. Suka maupun duka ia tulis dengan sekian rupa.

***

"Motor kamu ayah sita," ucap David dengan tegas.

"Kenapa, ayah? apa salah Arlan?" tanya Arlan yang tidak setuju jika motornya di sita.

"Masih nanya apa salah kamu, Arlan? datang terlambat, nilai kamu saja menurun. Tingkatkan dulu nilai kamu baru saya kasih motor itu."

Arlan yang kesal hanya bisa memalingkan wajahnya. Ia tidak tahu harus apa dan percuma saja jika Arlan melawan ayahnya bahkan jika ia melawan, maka bisa saja lebih buruk dari ini.

Arlan hanya bisa pasrah dan memutuskan untuk pergi ke taman belakang rumahnya. Dimana tempat itu yang terdapat bunga-bunga indah tersusun rapi. Pemuda itu duduk di kursi taman tersebut. Ia menyenderkan punggungnya itu dan sesekali memejamkan matanya untuk menikmati suasana hening di sekitarnya.

"Kalau gue gak bisa gimana ya?" batin Arlan yang sedang bertarung dengan pemikirannya sendiri.

"ARLAN! KE SINI KAMU!" teriak David dari kejauhan.

Arlan sontak terkejut mendengar teriakkan itu dan ia pun bangkit dari duduknya untuk menghampiri ayahnya yang sedari tadi memanggilnya.

"Arlan, apa ini?" David memegang sebuah surat yang entah apa isinya.

Arlan mengeryitkan dahinya. Ia juga bingung surat apa itu. "Apa itu, Ayah?"

"Lihat ini." David memberikan surat itu kepada Arlan.

Anak itu pun langsung mengambil surat tersebut dan membacanya. Arlan membulatkan kedua matanya. "Sialan," batin Arlan ketika sehabis membacanya.

"Apa itu? apa maksudnya?" tanya David dengan tatapan tajam.

"Apa, ayah? ini gak ada apa-apa," elak Arlan.

"Ingat ya Arlan. Semua ini udah saya berikan ke kamu dari kasih sayang, uang dan lainnya. Bahkan saya menyekolahkan kamu. Jangan jadi anak gak tau diri."

Arlan terdiam sembari menundukkan kepalanya. Ia tahu apa isi surat tersebut. Bukankah ia menulisnya di buku diarynya? mengapa ayahnya bisa mendapatkannya.

"Maaf, ayah."

"Sekali lagi awas kamu macam-macam." David pergi meninggalkan putranya sendirian.

"Kasihan kena marah ya. Mampus, suruh siapa sok-sokan," ejek Randy sembari menertawakan Arlan.

Randy Navasta, adik tiri Arlan yang sedari dulu menjadi musuh di keluarganya. Randy kerap sekali mencari masalah dengan Arlan.

"Kurang ajar. Jadi lo yang ngasih surat itu ke ayah?" tanya Arlan sembari menatap tajam Randy.

"Iyalah, siapa lagi. Sok puitis banget lo. Gue robek diary lo baru tau."

Arlan yang geram pun mencengkram kerah baju Randy. " Lo gak usah main-main sama gue. Gue selama ini diem aja bukan berarti takut sama lo, Randy," tekan Arlan yang menatap Randy dengan tajam.

"Lepasin gue. Lo—"

Arlan melepaskan cengkramannya dari baju Randy. Terlihat Randy yang menatap kakak tirinya itu dengan kesal dan begitu pula sebaliknya. Randy memberanikan dirinya untuk menatap Arlan.

"Gue bakal ngebuat lo menderita," ucap Randy yang lalu menampilkan seringai di wajahnya.

"Lo nantangin gue? gue gak takut sama lo. Bocah," balas Arlan lalu mendorong pelan bahu Randy dan kemudian pergi meninggalkan Randy di sana.

Randy yang melihat itu pun merasa kesal. "Sialan. Woi tunggu."

Arlan merindukan sosokmu, bunda. Arlan tidak ingin disini sebenarnya, tapi takdirku yang membawaku kemari. Arlan lelah, bunda harus belajar setiap hari dan dituntut keras. bunda saja Tidak pernah nuntut Arlan. tapi bagaimana lagi ini sudah takdir arlan

Itu adalah isi surat yang membuat David murka. Sebenarnya itu Arlan tulis di dalam buku diarynya. Namun, Randy sengaja menyobeknya dan memberitahu David tentang ini semua.

"Besok gue mau ke pantai."


vote dan komen dong biar cepet update

vote dan komen dong biar cepet update

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Arlangga | Haechan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang