Bab 3
"Turun!" Dua preman tiba-tiba menghentikan angkot yang ditumpangi Leon, membuat seluruh penumpang panik.
"Turun, budek!" salah satu preman itu berteriak sambil mengacungkan pisau, menyebabkan ketegangan di antara para penumpang yang semakin takut.
Leon, yang duduk di bagian belakang angkot, mulai merasakan sesuatu yang tak beres. Dari ekspresi dan sikap preman-preman itu, jelas mereka tidak memiliki niat baik.
Dengan cepat, Leon mulai berpikir tentang langkah apa yang harus diambil. Ia tidak ingin memperburuk keadaan, tapi ia juga tidak bisa begitu saja menyerah.
Sambil mengamati gerakan kedua preman itu, Leon mencari peluang untuk melindungi dirinya dan penumpang lainnya.
Satu per satu, penumpang turun dengan wajah ketakutan, termasuk Leon. Mereka semua berdiri di pinggir jalan, gemetar ketakutan.
"Masa cuma segini doang, ahh!" salah satu preman mengumpat dan memukul kepala sopir angkot dengan keras. Sopir itu langsung pingsan, membuat suasana semakin mencekam.
Teriakan ketakutan dari para penumpang menggema, dan mereka berlarian menjauh dari kejadian tersebut.
Salah satu preman mendekat, wajahnya merah karena marah. "MANA DUITNYA, CEPAT!!" teriaknya dengan suara mengguntur, membuat ibu-ibu di sekitar buru-buru menyerahkan uang mereka.
Tiba-tiba, matanya tertuju pada Leon, yang masih berdiri dengan tenang, tidak bergerak sedikit pun. Preman itu berjalan menghampiri Leon, wajahnya semakin merah dan matanya tajam, seolah siap menerkam.
Namun, baru beberapa langkah mendekat, terdengar suara sirine polisi yang memekakkan telinga. Preman itu langsung panik, lalu berbalik dan lari, meninggalkan mereka begitu saja tanpa memedulikan apa yang terjadi.
"Uhhh..." Leon menghela napas lega, merasa seolah beban berat terlepas dari pundaknya. Kakinya terasa lemas, dan sesampainya di rumah, ia langsung terjatuh ke tempat tidur, merasa lelah dan ingin beristirahat.
"Aku harus peringatkan Lana untuk lebih berhati-hati kalau keluar rumah," gumam Leon sebelum akhirnya tertidur.
Jam berapa sekarang? Leon terbangun dan melihat jam. "Ternyata baru jam 10," ucapnya sambil merenggangkan pinggul ke kanan dan ke kiri, menghilangkan kaku.
"Kita beres-beres rumah dulu, deh," ucap Leon, memutuskan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga.
Ia mulai menyapu dan mengelap perabotan yang dipenuhi debu. "Banyak juga debunya," gumamnya sambil mengusap permukaan meja.
Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Di antara tumpukan barang, ada sebuah benda yang terasa asing.
"Eh? Ini apa?" Dahinya berkerut saat menemukan sesuatu yang tidak biasa.
Tumpukan foto tersebar di atas meja sekitar dua belas lembar. Tapi ada yang aneh. Hampir semua wajah di foto-foto itu dicoret dengan spidol hitam. Hanya satu foto yang tersisa tanpa coretan, namun hanya satu orang yang terlihat jelas di dalamnya.
Leon menatap foto itu lebih lama. Ada dua orang di sana. Salah satunya… dirinya sendiri.
"Ini aku dan…?" Ia mencoba mengingat siapa orang di sampingnya.
Tiba-tiba, ia membalik foto itu dan menemukan tulisan di bagian belakangnya.
"Aku tak pantas untukmu. Dan satu hal lagi, setiap orang yang datang pasti suatu saat akan pergi.
"Aku mencintaimu, Edgar."
"Aku hanya milikmu."
Leon membeku. Perasaan aneh menyelimutinya. Ia membaca tulisan itu berulang kali, memastikan bahwa matanya tidak salah melihat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Menjadi Ayah BL : S1 - S2.
Random"Selamat membaca! Sebelum komentar, mohon baca dari awal hingga akhir. Cerita ini merupakan karya asli saya. 'This is BL!' - Sebuah kisah tentang Davi, yang hidup tanpa keluarga. Meskipun demikian, dia tidak pernah putus asa. Namun, kehidupannya ber...