Bab 16
"Lana sayang, kamu kenapa?"
Leon menatap putranya dengan penuh perhatian. Wajah Lana tampak sedikit murung, matanya menerawang seakan memikirkan sesuatu.
"Emm… nggak kok, Yah. Lana cuma pengen cepat sekolah lagi. Tapi Ayah Kecil dan Ayah Besar nggak ngizinin Lana…" Lana mencoba tersenyum, meski jelas ada sesuatu yang mengganggunya.
Sebenarnya, bukan sekolah yang ada di pikirannya. Ada satu nama yang terus mengganggu hatinya Andera.
Leon menghela napas, lalu mengusap lembut kepala Lana. "Tunggu tiga hari lagi, ya, sayang. Setelah itu, Ayah izinkan kamu sekolah lagi."
Lana terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Hmm, baik, Ayah."
o0o
"DIAM!"
Bara tiba-tiba berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan. Ia sudah muak dan lelah mendengar ibu tirinya berpura-pura menangis demi mendapat simpati.
Ayahnya memang hebat dalam bisnis. Tapi dalam urusan cinta? Ia terlalu Bodoh! Terlalu mudah ditipu oleh wanita iblis yang kini berdiri di depannya.
"BARA!" bentak Figo, tatapannya tajam penuh kemarahan.
Namun, sebelum Bara bisa membalas, suara lembut namun penuh kepalsuan terdengar.
"Sudahlah, Mas. Bara sedang sakit, kasihan dia..."
Sela, ibu tiri Bara, memainkan peranannya dengan sempurna. Air matanya berlinang, suaranya bergetar, penuh kepura-puraan. Tapi Bara? Dia hanya merasa mual melihat akting tingkat dewanya.
"Lihat! Ibumu begitu perhatian padamu! Dasar anak SIALAN!" bentak Figo lagi, kali ini dengan penuh emosi.
Bara hanya menatap ayahnya tanpa ekspresi. Napasnya berat, namun ia menolak menunjukkan kelemahan.
"Pergi."
Suaranya tak lagi lantang. Tak ada teriakan. Hanya satu kata, namun dingin menusuk penuh penekanan yang membuat ruangan terasa membeku seketika.
Sela menahan senyum kemenangan, tapi sebelum ia sempat bersuara, Bara sudah melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Di tempat lain, situasi tak jauh berbeda.
"Kamu mau ke mana, Devan?" Lonita mencoba menahan putranya yang juga bersiap pergi.
Devan menatap ibunya dengan dingin. "Ck! Biasanya kau tidak seperti ini."
Lonita menggenggam lengan putranya lebih erat, namun Devan tak bergeming.
"Lepas," katanya singkat, penuh ketegasan.
Axel yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya angkat bicara.
"Biarkan, Mah."
Tatapannya lurus ke depan, seolah memahami bahwa semuanya sudah berada di luar kendali.
o0o
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan pintu menggema di dalam rumah.
"Maaf mengganggu, Om."
Sean berdiri di ambang pintu, membawa sekotak martabak di tangannya.
"Masuk, Nak Sean," ujar Leon ramah, mempersilakan tamunya masuk. Ia telah mendengar cerita dari Lana tentang pemuda di depannya orang yang menolong serta mengantarkannya pulang dengan selamat. Leon benar-benar bersyukur atas kebaikan Sean.
"Terima kasih, Om."
Jika teman-teman Sean melihatnya sekarang, mereka pasti tidak akan percaya. Bagaimana mungkin pemimpin mereka, yang dikenal keras dan pemberontak, bisa bersikap begitu sopan? Bahkan dengan orang tuanya sendiri, Sean jarang menunjukkan sikap seramah ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Menjadi Ayah BL : S1 - S2.
Random"Selamat membaca! Sebelum komentar, mohon baca dari awal hingga akhir. Cerita ini merupakan karya asli saya. 'This is BL!' - Sebuah kisah tentang Davi, yang hidup tanpa keluarga. Meskipun demikian, dia tidak pernah putus asa. Namun, kehidupannya ber...