Chapter 7.

9.1K 491 1
                                    

Bab 7


Di dalam rumah, suasana terasa tegang dan berbeda dari biasanya. Aura yang mengalir di antara mereka seperti membangun dinding tak kasatmata yang menekan. Ia merasakan perubahan atmosfer itu, meskipun ia sendiri tak bisa menjelaskan alasannya.

Lana menggenggam tangan Andera erat-erat. Tangannya gemetar, wajahnya menunduk, enggan menatap mata ayahnya. Ada ketakutan yang jelas terpancar dari sorot matanya, seolah ia tak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya.

Semua orang diam. Mereka menunggu reaksi Leon, menanti apa yang akan dilakukan ayah mereka. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu sekaligus waspada.

"Bukankah ayah sudah bilang, Andera? Jangan pulang sampai larut malam!" Suara Leon tak terdengar benar-benar marah, tetapi cukup tajam untuk membuat Lana menangis dalam diam.

Air mata mengalir di pipinya. Ia menggigit bibir, menahan isak, tetap menggenggam tangan Andera seolah mencari perlindungan. Suasana semakin menegang, udara terasa semakin berat.

"M-maaf, Ayah," suara Lana bergetar di antara tangis yang tertahan.

"Andera, bawa Lana masuk," perintah Leon. Nada suaranya tetap tegas, meski tidak sepenuhnya keras. Ia ingin memberi pelajaran pada Lana bahwa kebiasaan ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Baginya, disiplin dan tanggung jawab adalah hal yang harus dipelajari, terutama karena Lana masih di usia sekolah.

"Baik, Ayah," jawab Andera. Namun, alih-alih menggandengnya, ia malah menggendong Lana dalam pelukannya.

Langkahnya terhenti tiba-tiba. Seseorang menarik pundaknya dari belakang. Ia menoleh dan mendapati sepasang mata tajam menatapnya. Tatapan dingin itu berasal dari Edgar. Keduanya saling mengunci pandang, atmosfer di sekitar mereka semakin mencekam. Ketegangan di dalam rumah semakin nyata, seakan udara di ruangan itu membeku.

"Andera, cepat!" suara Leon memecah keheningan. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan situasi yang berkembang.

Edgar tetap diam beberapa saat, lalu berkata dengan nada rendah dan penuh makna, "Dia putraku?"

Leon mengangguk pelan. Ia tak bisa mengelak. Edgar selalu tahu cara mencari celah, dan kali ini, ia berhasil menemukan kebenaran yang selama ini tersembunyi. Perasaan tidak nyaman semakin menelusup ke dalam hati Leon saat melihat bagaimana Edgar menatap Lana seakan rahasia yang selama ini dijaga telah terbongkar.

"Duduk," perintah Edgar singkat.

Namun, sebelum ada yang bergerak, seseorang dari kelompok mereka berkata, "Ayah, kami pamit pulang."

Leon menoleh, melihat keenam anak angkatnya yang sudah bersiap pergi, kecuali Arga.

"Hati-hati di jalan," ucapnya, suaranya lebih lembut kali ini.

Mereka pun pergi, meninggalkan rumah dengan segala ketegangan yang masih menggantung di udara.

"Buktikan jika kau serius dengan putraku," ucap Edgar dengan nada tegas dan menantang.

Andera menatap Leon dengan penuh tanya. Leon mengangguk cepat.

"Setelah lulus, saya akan menikahinya," ucap Andera dengan suara penuh keseriusan.

"Aku pegang janjimu. Tapi jika kau ingkar, aku pastikan kepalamu tidak lagi berada di tempatnya," ancam Edgar. Aura yang terpancar darinya begitu kuat hingga membuat Leon terbatuk dan memegang dadanya yang terasa nyeri.

"Uuhukk," Leon terbatuk, tangannya meremas dadanya.

"Ayah, sayang!" Tiga anaknya panik dan khawatir melihat kondisi ayah mereka.

Transmigrasi Menjadi Ayah BL : S1 - S2.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang