Bab 9
Leon dan Lana mulai merasa risih. Keadaan mereka saat ini jauh dari kata nyaman.
Mereka terus-menerus diganggu oleh sosok "beruang besar" yang tak henti-hentinya membayangi mereka ke mana pun pergi.
Pandangan Edgar tak pernah lepas dari Leon. Setiap langkah yang diambil Leon, Edgar selalu berada di dekatnya mengawasi, melindungi, bahkan menguntitnya hingga ke dapur dan kamar. Gerak-geriknya penuh kehati-hatian, mencerminkan betapa besarnya kekhawatiran dalam hatinya. Ia takut sesuatu akan terjadi lagi pada Leon, dan ia tidak mau mengambil risiko kehilangan kesempatan untuk menjaganya. Perhatian yang ia tunjukkan adalah bukti nyata dari kepedulian dan kesetiaannya yang tulus.
Leon menghela napas, lalu menoleh ke arah enam anak yang masih setia duduk bersamanya. “Kalian tidak pulang?” tanyanya lembut, meski tangan kirinya masih dalam genggaman erat Edgar.
"Kami akan tetap di sini menemani Ayah," jawab Hiro, mewakili yang lain.
"Tidak boleh! Besok kalian harus sekolah," tolak Leon tegas.
Namun, anak-anaknya tak mau menyerah begitu saja.
"Baiklah, Ayah, tapi Sabtu dan Minggu nanti kami akan menginap lagi di rumah Ayah, boleh kan?" Bima memohon dengan mata berbinar, penuh harapan.
"Ya, Ayah..." timpal yang lain serempak.
"Kami ingin menginap lagi, Ayah!"
Leon menatap mereka sebentar, lalu tersenyum tipis. "Memangnya siapa yang melarang kalian menginap?"
"Jadi boleh, Ayah?!" tanya mereka dengan antusias.
Leon mengangguk pelan. Seketika, sorak kegembiraan memenuhi ruangan.
"Terima kasih, Ayah!" seru mereka bahagia.
Bara hendak memeluk Leon sebagai ungkapan terima kasih, namun langkahnya terhenti ketika Edgar tiba-tiba berdiri di hadapannya. Tatapan tajam pria itu menusuk, membuat nyali Bara menciut. Dengan berat hati, ia mengurungkan niatnya dan hanya bisa tersenyum kecil sebagai pengganti pelukan yang ia inginkan.Leon, yang menyadari situasi itu, menepuk dada Edgar pelan sebagai teguran. Namun, bukannya merasa bersalah, Edgar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kepemilikan seolah-olah Leon adalah miliknya dan tak seorang pun berhak menyentuhnya, kecuali dia dan anak-anak mereka.
"Ya sudah, Ayah mau masak dulu, ya," ujar Leon, berusaha melepaskan genggaman Edgar.
Namun, bukannya membiarkan Leon pergi, Edgar justru menarik tangannya kembali. "Tidak perlu, kita pesan saja," ucapnya tegas, tanpa sedikit pun memberi ruang bagi Leon untuk membantah.
Tanpa menunggu jawaban, Edgar langsung memberi isyarat pada Rendi untuk memesan makanan. Leon hanya bisa menatapnya dengan heran sekali lagi dikalahkan oleh dominasi Edgar yang tak pernah berubah.
Leon menghela napas berat. "Uhhh..." gumamnya pelan, merasa lelah dengan sikap Edgar yang selalu mengontrol segalanya. Matanya menatap pria itu dengan sedikit kesal, namun ia tahu tidak ada gunanya berdebat.
Drt... drt... drt...
Suara ponsel Bara bergetar berkali-kali, namun ia tetap mengabaikannya. Perhatiannya sepenuhnya tertuju pada Leon, seolah-olah panggilan itu bukanlah sesuatu yang penting.
Leon, yang mulai terganggu dengan suara dering yang terus-menerus, akhirnya menegur, "Bara, angkat dulu teleponmu."
Baru saat itu Bara tersadar. Ia mengambil ponselnya dengan enggan, lalu melihat nama yang tertera di layar. Seketika, ekspresinya berubah drastis raut wajahnya mengeras, mata yang tadi lembut kini dipenuhi kebencian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Menjadi Ayah BL : S1 - S2.
Random"Selamat membaca! Sebelum komentar, mohon baca dari awal hingga akhir. Cerita ini merupakan karya asli saya. 'This is BL!' - Sebuah kisah tentang Davi, yang hidup tanpa keluarga. Meskipun demikian, dia tidak pernah putus asa. Namun, kehidupannya ber...