13. Anak-anak Di Stasiun

26 10 2
                                    

"... shia ... pha?"

Changbin dan Felix spontan menoleh kearah ranjang. Disana, kakek Shin terlihat kebingungan menatap sekelilingnya. Tak lama setelahnya, pandangan sayu pria ringkih tersebut bergulir pada sosok lelaki bertubuh atletis di dekat ranjangnya. Changbin kembali beralih pada sosok Felix di belakangnya. Jelaga cantik hantu manis itu masih terbelalak lebar, dan Changbin bisa melihat genangan air yang memenuhi kelopak matanya.

"Felix," bisik Changbin sepelan mungkin. Yang untungnya, masih dapat didengar oleh si pemilik suara. Felix membalas tatapannya, kemudian setitik air mata meleleh keluar tanpa bisa ditahan.

"Pe-pergi ..." cicitnya tidak terlalu jelas. Obsidiannya bergerak gelisah, dan Felix mulai kepalkan tangan hingga jemari kecilnya tampak memutih. "Ma-maaf, Changbin. Apa kita bisa pergi sa-saja? Maaf, maaf, maaf, maaf ..."

Changbin semakin khawatir. Ia melirik kakek Shin yang masih setia menatapnya dengan pandangan layu. Tak satu detikpun pria itu mengalihkan pandangan. Mengingat apa yang sempat Sana jelaskan padanya beberapa saat sebelumnya, Changbin dapat menyimpulkan bahwa Changbin adalah satu-satunya orang yang pernah datang menemuinya.

Changbin merasa iba dengan keadaan sang pria tua. Namun jika ia tetap bersikeras untuk berada disana, ia juga tidak tau harus melakukan apa. Kakek Shin bukanlah keluarga atau bahkan kenalannya. Dan Changbin tidak punya urusan pribadi apapun dengan pria tersebut. Jadi, saat melihat Felix semakin gelisah tidak terkendali, Changbin segera berbalik dan memberi isyarat mata pada si manis untuk beranjak tinggalkan ruangan.

"Permisi, maaf. Toilet ada di sebelah mana, ya?" tanya Changbin setelah keduanya sampai di depan meja administrasi.

Dibalik meja berukuran cukup besar, Sana dengan senang hati memberi arahan pada sang tamu. Setelah tersenyum singkat sembari ucapkan kalimat terima kasih, diikuti oleh Felix di sampingnya, Changbin bergegas memasuki toilet. Ia mengunci pintu toilet rapat-rapat setelah memastikan tidak ada siapapun di dalam sana.

"Kamu baik-baik saja? Ada sesuatu yang kamu ingat?"

Felix membisu sejenak demi menenangkan diri. Setelah cukup lama terjebak dalam suasana sepi, ia menjawab, "Aku memang bekerja disini, Changbin. Tapi setelah entah berapa lama, aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Aku ... aku nggak tau, saat mengingat itu semua, rasanya aku sudah melakukan sebuah kesalahan. Aku nggak kuat berlama-lama di ruangan tadi."

Felix berucap panjang lebar tanpa menatap mata Changbin. Manik kembarnya bergerilya ke segala arah, kecuali pada netra tajam sang manusia. Tanpa diduga-duga, sebuah tepukan lembut mendarat diatas kepala Felix.

"You're doing a great job, Felix. Setidaknya kamu kembali mendapatkan ingatan lainnya tentang kehidupanmu. Itu adalah pencapaian yang cukup besar untuk hari ini."

"Kamu ... nggak marah?"

"Kenapa aku harus marah?"

"Aku sudah sangat ... merepotkanmu,"

Changbin tersenyum miring, "Kamu memang cukup merepotkanku. Tapi, untuk saat ini aku nggak keberatan. Aku memiliki waktu luang yang sangat banyak untuk membantumu. Dibandingkan hanya malas-malasan di rumah, berusaha memecahkan teka-teki kehidupan dari hantu penghuni rumah kosong bukanlah sesuatu yang buruk, bukan?"

"... terima kasih, Changbin. Aku nggak tau bagaimana caraku membalas semua bantuanmu ..."

Changbin tatap lekat-lekat kedua mata Felix, "Tersenyum, Felix. Kamu cukup membalasku dengan tersenyum jika berada di sekitarku. Apa kamu sadar jika kamu terus bersedih, kamu juga akan menyebarkan energi negatif yang akan berdampak pada kenyamananku?"

Blue Sunshine ⚊ Changlix Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang