8. Terombang-ambing

33 12 5
                                    

Hingga dua hari setelahnya, Felix sama sekali tidak menampakkan diri di hadapan Changbin. Felix menghilang dan lenyap begitu saja, Seolah keberadaannya tak pernah ada di muka bumi. Diam-diam, Changbin sempat menunggu kemunculan Felix. Bahkan ia rela duduk berjam-jam di kursi teras rumah sambil memelototi bangunan kosong tempat Felix bersemayam. Usahanya berakhir sia-sia, bukannya melihat sosok Felix, tanpa sengaja Changbin malah tertidur pulas.

Pikirannya melayang pada hari dimana ia secara gamblang mempertanyakan alasan kematian Felix. Kepalanya menimbun belasan pertanyaan yang bahkan tidak sanggup ia utarakan seluruhnya. Di lain waktu, ia juga kembali memutar memori tentang momen pertamanya mengobrol dengan Felix.

Apa ini alasan Felix datang ke dalam hidupnya? Selama empat belas tahun, hantu manis itu luntang-lantung di dunia tanpa tujuan yang jelas. Selama empat belas tahun, ia menghabiskan waktunya seorang diri, tanpa siapapun yang bisa ataupun mampu mendengar keluh kesahnya. Jadi, ketika ia mendapati Changbin yang mampu melihat kehadirannya, dalam waktu singkat Felix langsung menempeli Changbin selayaknya seekor lintah.

"Ngelamun terus. Mikirin apa, sih?"

Changbin tersentak dari lamunannya. Menoleh ke sumber suara, baru ia ingat jika saat ini ia tengah berada di meja makan. Dengan apron yang terpasang rapih, Irene meletakkan semangkuk sup hangat keatas meja. Sedangkan dari ruang tengah, suara pekikan dan tawa dari si kembar terdengar bergema.

"Ah, enggak ada. Cuma masih sedikit ngantuk aja. Jadi belum terlalu fokus," kelakarnya. "Ngomong-ngomong, kenapa Kakak harus repot membawakan makanan untukku? Aku masih bisa masak sendiri atau membeli makanan secara online,"

Berdecak pelan, Irene lepaskan apron yang melingkari pinggangnya. "Sejak awal aku mengenalmu, aku hanya pernah melihatmu memasak mie instan atau telur saja. Oh, bahkan seingatku, telur terakhir yang kamu masak hasilnya gosong dan pahit. Dengan kondisimu seperti itu, bisa saja masakanmu akan berakhir penuh racun."

"Jahat sekali,"

Tidak tersinggung sama sekali, Irene justru terkekeh kecil. "Nggak perlu khawatir. Kami hanya akan membantu keperluanmu sampai kamu pulih sepenuhnya. Lagipula, ini perintah Ayah. Beliau nggak ingin putra bungsunya kembali bertugas dengan perut buncit akibat terlalu banyak makan junk food."

Tersenyum tipis, Changbin mulai mengambil satu suapan besar dari sup hangat buatan Irene. Ini mirip sekali dengan masakan Ibu, batinnya. Changbin tersenyum tipis, "Bagaimana kabar Ibu, Kak?"

Sebelum mendapatkan jawaban, suara debuman kaki-kaki kecil terdengar dari jauh, "Jiho! Jia! Jangan nakal!" seru Irene dengan kepala sedikit mengintip keluar pintu dapur. Menggeleng tak habis pikir atas tingkah anak-anaknya, Irene kembali membalas tatapan Changbin seraya merapihkan pakaiannya yang sedikit kusut.

"Ibu sehat," katanya. "Tapi beliau masih rutin menanyakan tentangmu. Ibu terlihat sangat sedih. Apa kamu belum menghubunginya?"

"Sejak keluar dari Rumah Sakit, belum. Aku nggak tau harus ngomong apa, aku takut tanpa sadar keceplosan membeberkan kondisiku pada Ibu."

Alarm ponsel berdering nyaring. Perempuan yang menyandang karir sebagai dokter kandungan itu terlihat terburu-buru, "Tetap hubungi Ibu sesekali. Aku dan Minhyuk sudah mengatakan jika kamu sedang terlalu sibuk bekerja. Bertingkahlah seperti saat kamu masih berada di Stasiun. Dengan begitu, Ibu akan merasa cukup tenang⚊"

Drrrt!

"Oh, crap! Aku harus pergi. Jiho dan Jia sudah hampir terlambat ke sekolah. Aku juga harus segera berangkat ke Rumah Sakit. Kids! Say bye-bye to Uncle Binnie!"

Tak butuh waktu lama, bocah kembar berbeda jenis kelamin itu berlarian menghampiri Changbin. Seperti terbiasa dan sangat hafal dengan kebiasaan mereka, Changbin sedikit membungkuk. Dan secara bersamaan, kecupan basah mereka daratkan di masing-masing pipi Changbin.

Blue Sunshine ⚊ Changlix Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang