2. Sebuah Pesan Untuk Si Sulung

44 12 3
                                    

Terlalu mencintai pekerjaannya, terkadang membuat Changbin menjadi terlena dan melupakan resiko paling penting yang harus ia ingat dalam mengemban tugas. Resiko yang cukup besar, dan tak semua orang mampu untuk menanggungnya.

Lima tahun mengabdikan diri sebagai seorang petugas penyelamat, memang sangat jarang Changbin melihat korban dari para petugas yang berakhir tak bernyawa. Tapi setiap kali hal itu terjadi, satu-satunya hal yang terlintas dalam benaknya adalah; bagaimana jika selanjutnya hal yang sama akan terjadi padanya?

Pemakaman, atau yang sering mereka sebut sebagai penghormatan terakhir itu tak pernah terasa mudah bagi Changbin. Terlebih jika seseorang yang telah pergi itu merupakan sosok yang begitu dekat dengannya. Setiap duka, setiap luka yang tercipta, turut tertoreh dalam jiwanya.

Ada satu persamaan yang dimiliki oleh Yumi, ibu Changbin, dan juga Jiwon, istri Wooyoung. Dua wanita berbeda generasi itu sama-sama tidak terlalu menyukai pekerjaan yang Changbin dan Wooyoung emban saat ini. Tentu, menjadi seorang petugas penyelamat adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia. Namun mengingat selain waktu dan tenaga, mereka juga harus dihadapkan dengan maut yang kapan saja bisa menjemput, keluarga mana yang tahan dengan itu semua?

Dulu, Changbin hanyalah seorang pemuda labil yang bahkan tak miliki sedikitpun pengalaman dalam bidang pekerjaan. Sedangkan Wooyoung, kondisi ekonominya yang tak seberuntung Changbin, membuatnya tidak miliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan setinggi mungkin. Changbin lah yang pertama kali mengajak Wooyoung untuk mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang pemadam kebakaran.

Jika saja Changbin tidak mengajak Wooyoung untuk bergabung, mungkin saja hari ini semuanya akan berbeda. Mungkin saja Wooyoung akan tetap hidup, dan mungkin saja ... bayi perempuan yang bahkan belum genap berusia dua minggu itu tidak akan kehilangan sosok ayah yang wajah dan suaranya tak sempat tersimpan dalam memori.

Duka dan sepercik rasa bersalah itu tetap Changbin rasakan hingga dua hari setelahnya. Saat ia telah terduduk di kursi meja makan, dikelilingi oleh seluruh keluarga yang tengah sibuk berdoa. Menit berikutnya, suara alat makan yang saling beradu terdengar menyapa pendengarannya. Suasana meja makan pagi itu terasa begitu hening dan damai. Hal yang sangat biasa terjadi, mengingat Seo Dong Seok, ayah Changbin yang merupakan seorang purnawirawan tentara angkatan darat, memiliki sifat yang sangat keras dan juga tegas. Sepatah kata apapun terasa haram jika diucapkan di tengah aktivitas makan.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, Changbin? Semuanya masih aman?"

Adalah kalimat pertama yang Dong Seok ucapkan begitu seluruh piring kotor telah selesai Irene ganti dengan beberapa cangkir kopi panas. Sosok tinggi besar tersebut terduduk di seberang Changbin dengan bahu tegap dan pandangan lekat. Sedangkan Minhyuk dan Yumi masing-masing hanya diam memperhatikan. Changbin menyesap cairan hitam pekat miliknya, sebelum kemudian ia mengangguk singkat sebagai jawaban dari pertanyaan sang ayah.

"Semuanya lancar, Ayah. Belakangan ini nggak terlalu banyak panggilan yang cukup mengkhawatirkan. Kecuali ... malam itu," Changbin menjeda kalimatnya sesaat, "Tapi karena kejadian itu juga, aku mendapatkan tambahan libur hingga satu minggu penuh,"

Sang pemimpin keluarga mengangguk paham, "Itu bagus untukmu. Bin, Ayah⚊"

Sret!

Derit kaki kursi yang bergesek dengan permukaan lantai seketika memutus percakapan sepasang ayah dan anak tersebut. Changbin dan Minhyuk mengalihkan pandangan, memperhatikan sang ibu yang berlalu memasuki dapur tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. Changbin termangu bingung, sementara Dong Seok hanya merespon dengan sebuah tarikan nafas dalam.

"Semenjak berita tentang temanmu sampai di telinga Ibumu, dia jadi sangat gelisah. Temui Ibumu, Bin. Ayah rasa hanya kamu yang bisa menenangkannya,"

Changbin paham sekarang. Dengan perlahan, lelaki dua puluh enam tahun itu berjalan memasuki dapur. Dalam ruangan penuh perabot rumah tangga itu, Irene tersenyum menyapanya. Disampingnya, sesosok anak perempuan berambut hitam sebahu seketika berlari memeluk kakinya. Merengek mengadu tentang sang ibu yang enggan memberinya uang guna membeli sebungkus es krim cokelat. Irene berdecak pelan, menjelaskan bahwa kini si bocah cantik baru saja sembuh dari sakit tenggorokan. Changbin tersenyum tipis, mengucapkan satu kalimat janji bahwa setelah ini ia akan membawanya pergi berjalan-jalan dan membeli makanan ringan jika si keponakan cantik juga mau berjanji untuk mematuhi setiap larangan dari sang ibu.

Blue Sunshine ⚊ Changlix Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang