CHAPTER 23 - IMAGINING

108 4 0
                                    

Sejak aku akhirnya berhubungan dengan Ayahku, pikiranku terasa terjebak memikirkannya. Bahkan pada siang itu, ketika aku tengah bercinta dengan mas Andra sekalipun. Aku malah membayangkan sedang mengendarai Ayahku sendiri.

Gimana nggak, tadi pagi saat sarapan di rumah. Sikap Ayah dan aku benar-benar normal, kami berdua masih berperan sebagai seorang Ayah dan anak. Walau sesekali Ayahku sering melirikku sambil menyeringai, ditambah lagi saat aku makan, tangan Ayahku selalu meraba pahaku di bawah meja. Aku jadi merasakan kalau Ayah itu makin intim denganku. Bahkan saat itu baik Abang dan Ibuku sendiri juga nggak ada yang curiga atas sikap kami berdua pagi itu.

Hingga tadi pagi ia mengantarku ke sekolah pun, kita sempat melipir ke sebuah tempat yang sepi untuk berciuman dan bermesraan di dalam mobil. Aku bisa lihat dari raut wajahnya, kalau tiap Ayahku menciumku itu dia selalu jadi gila. Ia nggak mau kalau menciumku cuman sekali. Nafsunya begitu besar, hingga akhirnya aku putuskan untuk mengocok penisnya sembari kami bermesraan itu.

Bisa dibilang, nafsu gila Ayahku itu mirip dengan mas Andra. Mereka nggak cukup cuman sekali, habis penetrasi pasti mereka minta jatah lagi dan lagi. Itu sebabnya, ketika aku bersetubuh dengan mas Andra. Aku selalu membayangkan Ayahku secara utuh. Penis mas Andra memang besar, hanya saja masih lebih besar punya Ayahku. Tapi tenang, berapapun ukurannya. Aku pun pasti bisa menerimanya!

Seperti biasa, aku nggak tahu berapa lama kami bercinta. Tapi setelah dia menyemburkan pejunya di atas perutku dengan banyak itu. Mas Andra langsung tumbang sejenak di sofa bersamaku. Aku pun segera mengelap pejunya yang banyak itu dengan tisu basah, yang ia sediakan. Kemudian, ia segera menarikku kembali untuk merebah bersamanya. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya sampai mandi keringat seperti biasa, ia pun langsung menciumku dengan liar.

"Kutebak, kamu pasti nggak keluar sampai seminggu lebih ya?" Godaku sambil memainkan putingnya.

"Aku udah bilang, kan? Pejuku, cuman milik kamu seorang. Aku tunduk sama kamu, sayang. Kalau kamu suruh aku nggak ngelakuin itu sama Indira, aku turutin! Sekarang liat kan? Kamu dapet limpahannya?" Katanya sambil tertawa kecil, sesekali ia mencium wajahku.

"Emang harusnya gitu, perannya dia cuman jadi pasangan buat keluarga kamu. Jangan lupa, kamu harus bisa harmonis sama dia. Pura-pura aja." Kataku.

"Iya, sayang. Kamu tenang aja, kamu kan istri sahku! Mau gimanapun juga, kamu itu belahan jiwaku. Jadi aku nggak akan pernah khianatin kamu, Bobin." Katanya sambil mengecup bibirku.

Mendengar itu, kami pun berpelukan lagi dengan mesra. Aku biarkan dia beristirahat sejenak, supaya dia bisa menggenjotku lagi setelah itu. Aku tahu dia masih belum puas. Suamiku itu memang nggak pernah puas berhubungan denganku cuman sekali. Ingat, kan?

"Hari ini, kamu izin ya!" Kata mas Andra dalam pelukannya itu.

"Izin kenapa?" Aku bingung.

"Lusa besok aku mau ke Italy sama Indira, buat ngehadirin pesta pernikahan sepupunya. Jadi aku pengen berduaan sama kamu di penthouse. Kalau kamu izinin, aku pengen lanjutin permainan kita di rumah sampai besok." Ungkap mas Andra.

"Oh, jadi ini yang mau kamu omongin?" Tanyaku.

"Hm.." Angguknya. "Boleh?"

"Andre ikut?" Tanyaku.

"Nggak, dia nggak ikut." Jawabnya. "Gimana? Boleh?"

"Hmmh, boleh aja sih. Tapi kamu harus rajin hubungin aku selama disana, aku mau tau kamu ngapain aja!" Kata aku dengan cemberut.

"Mau pantau aku dari jauh?" Ucapnya sambil terkekeh.

"Aku pengen ke luar negri juga sama kamu." Parauku sambil mencium dagunya.

BOBIN: The HarlotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang