Aku berakhir bersamanya saat pulang sekolah, dan entah kenapa bukannya anterin aku pulang. Dia malah bawa aku ke mall!
Bisa kulihat, kancing seragam sekolahnya telah terbuka semua, hingga kaos dalaman hitamnya nampak terlihat jelas saat kami berjalan itu. Tubuhnya yang tinggi, struktur wajah yang tegas dan kulit sawo matangnya itu selalu menjadi pusat perhatian bagi siapapun yang lewat di depan kami. Tapi walaupun sering dilirik orang, Marvel nggak bergeming. Ia mengabaikan mereka semua, dan beberapa kali menolehkan wajahnya padaku.
"Lo ngapain bawa gue ke mall?" Tanyaku bingung.
"Temenin gue nonton sama beli kado." Senyumnya padaku, hingga tiba-tiba ia tarik tubuhku mendekatinya. "Jangan jauh-jauh dong."
"Kadonya buat Sherly?" Tanyaku lagi.
"Iya, lo dateng kan?" Kata Marvel.
"Gue nggak diundang, lagian Sherly nggak suka sama gue." Kataku sambil mengalihkan perhatian.
"Lo bisa dateng bareng gue kok, Bin. Jadi gandengan gue, lo nggak perlu undangan kalo gitu!" Kata Marvel mendekati tubuhnya padaku.
"Nggak usah, lagian gue mau pacaran hari sabtu itu. Lo lupa kalo gue udah punya pacar?" Kataku dengan nada nyeleneh.
"Kalian kalo pacaran dimana? Di penthouse itu?" Kepo Marvel.
"Eh? Nggak, dimana-mana sih. Tergantung mood kita, kebetulan kemarin itu kita pengen disitu aja. Soalnya jauh dari orang-orang yang kita kenal, eh tapi malah ketauan! Pake di videoin segala, terus pake ngancem-ngancem. Ngeselin sih tu orang!" Sindirku padanya.
Anehnya, dia malah terkekeh dengan sindiranku itu.
"Emang ngeselin tuh orang, pake jual-jual drama mau pergi ke Amerika segala. Padahal harusnya nggak usah diomongin ya!?" Marvel malah ikutan menyindir dirinya sendiri.
"Jadi itu beneran?" Tanyaku.
"Apanya?" Tanya dia balik.
"Itu...soal yang Amerika. Lo beneran dapet beasiwa disana?" Tanyaku lagi.
Dia mengangguk.
"Kenapa musti ke Amerika? Emangnya nggak mau kuliah disini aja gitu?" Tanyaku lagi.
"Sebenarnya gara-gara keluarga gue juga sih. Tadinya itu mereka berharap gue masuk IPA, mereka pengen gue jadi dokter kayak mereka. Cuman gue nekat masuk IPS, jadi mereka udah nggak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, gue sendiri yang bilang kalo gue mau jadi atlet. Akhirnya mereka dukung-dukung aja, pas tau gue dapet beasiswa ke Amerika itu." Ungkapnya.
"Oh, mereka nggak mau bayarin kuliah lo buat jadi atlet itu?" Tanyaku prihatin.
"Hmm... Iya." Marvel mengangguk sambil sedikit manyun.
"Keluarga lo dokter semua?" Aku penasaran.
"Nggak sih, nyokap gue yang dokter. Bokap gue pengusaha, dan punya rumah sakit juga yang dikepalain sama nyokap gue. Tapi kalo om dan tante gue sih mostly pengusaha, ada juga yang seniman. Nggak saklek keluarga dokter gitu. Cuman kebetulan keluarga gue emang jalanin bisnis di dunia kesehatan aja." Jelas Marvel.
"Tapi harusnya, masih nyambung gak sih? Jadi atlet kan juga perlu dokter, apalagi renang." Sahutku.
"Iya, tapi kalo jadi atlet. Mereka kayak kurang setuju gitu. Karena prospek masa depannya juga kurang aja menurut mereka." Ungkapnya lagi.
"Iya sih, gue setuju sama orang tua lo. Lagian setau gue ya, jadi atlet itu paling mentok jadi pelatih. Yah syukur-syukur punya club sendiri, itu juga butuh effort sama koneksi juga. Buat sponsor-sponsornya, belum lagi bagun pelatihannya." Ucapku lagi. "Saran gue, nanti kalo lo kuliah di Amerika. Lo perluas jaringan lo juga, jangan dari kalangan atlet renang aja. Kalo bisa semuanya, biar lo dapet dukungan nggak cuman..."
KAMU SEDANG MEMBACA
BOBIN: The Harlot
Teen Fiction⚠️{{BL LOKAL}} 21+⚠️ ⚠️ CERITA INI TERLALU LIAR UNTUK DIBACA. BAGI YANG BELUM BERUSIA 21 TAHUN KE ATAS (21+) DAN NGGAK SUKA CERITA BL. MOHON JANGAN BACA CERITA INI!!!⚠️ "Kalau kamu single, kamu bukan tipeku. Tapi kalau kamu punya istri dan anak...